Sabtu, 13 Oktober 2012

Our Broken Masks - Chapter 2


Bleach = Kubo Tite
Our Broken Masks = Searaki Icchy
Rate = (So far) M for safe
Genre = Drama, Friendship, Romance, Slice of Life, dll
Warning dengan segala macam kekurangan yang ada di dalam fic ini 
Enjoy :)


================================================================================================================================================

The Meeting


Untuk pertama kalinya bagi seorang Kuchiki Rukia di hadapkan dengan situasi aneh yang tidak pernah dia sangka. Toushirou berada di depan pintu, di sambut dengan sangat baik oleh seorang pria tampan asing maniak celana dalam bernama Ichigo tanpa sehelai pakaian yang menutupi tubuh bidangnya. Dan pria berambut jabrik putih kekasihnya ini hanya bisa diam menatap Ichigo.

“Siapa kau?” pertanyaan Toushirou sepertinya tidak akan berubah sampai Ichigo menjawabnya.

“Kau sendiri siapa?” Ichigo pun sama ngototnya seperti pria menatap angkuh ke arahnya. Karena Toushirou tidak bersedia menjawab dirinya akhirnya dia pun menoleh dan bertanya kepada Rukia. “Rukia, siapa pria ini?”

Rukia tidak bergerak. Di dalam kepalanya sudah membayangkan berbagai macam reaksi yang Toushirou keluarkan dan memberikan efek pada hubungan mereka. Matanya memicing tajam ke arah Ichigo. Seenaknya saja bertanya seakan-akan dialah pemilik ruangan ini.

Tenang, bersikaplah tenang. Jangan panik. Rukia memejamkan mata, menghembuskan nafas sejenak, lalu berjalan menghampiri Toushirou sambil tersenyum menyapanya.

“Hei, Toushirou. Kenapa kau datang sepagi ini?” tanya Rukia—berusaha—bersikap biasa.

“Rukia, siapa pria ini?” tanya Toushirou mengalihkan perhatian untuk wanitanya.

“Ngg, dia ini—“ suara Rukia terhenti karena terpotong oleh kata-kata Ichigo. “Jadi kau pacarnya Rukia, yah? Kyaaaaaa~ ternyata seperti yang kubayangkan Rukia, dia pria yang sangat tampan!”

Rukia bengong. Ichigo mendadak berubah sikap yang sanggup menghancurkan image tampannya. Pria berambut orange ini tanpa malu-malu membelai mesra pipi Toushirou yang membatu karena tingkahnya yang berubah drastis menjadi seseorang yang melambai. Apalagi sikapnya yang terang-terangan membelai setiap lekukan wajah Toushirou sampai akhirnya pemuda tanpa ekspresi itu risih.

“Hentikan tanganmu,” Toushirou menepis tangan Ichigo dingin. “Siapa kau?” tanyanya sekali lagi.

“Ah, maaf…” setelah mengembalikan tangannya ke kantung celananya, Ichigo menyengir lebar ala kuda, “kenalkan, aku sepupunya Rukia, Ichigo, Shirou-chan~”

Rukia dan Toushirou sama-sama ber-sweatdrops ria. Apa-apaan kelakuan pria aneh ini? Apa yang sedang dia lakukan dengan berpura-pura menjadi sepupu Rukia? Yang lebih penting, kenapa kelakuannya ini berubah seratus delapan puluh derajat?

Mata tosca Toushirou menyipit heran. “Setahuku, Rukia tidak punya saudara sepupu. Apalagi saudara laki-laki bertelanjang dada,” jelasnya datar.

Rukia mati kutu. Harus lakukan sesuatu! Otaknya berpikir dua kali lipat, lebih baik berterus terang kepada kekasihnya sebelum pria itu berpikiran yang tidak-tidak.

“Toushirou, sebenarnya—“ lagi-lagi, kalimat Rukia terhenti karena di ambil alih oleh Ichigo.

“Sebenarnya, aku adalah saudara jauh Rukia. Aku adalah anak dari kakaknya, kakeknya, pamannya, sepupunya, keponakannya, tantenya, adiknya, saudaranya, bibinya, neneknya, pamannya—pokoknya saudara nun jauuuhh di sana dari keluarga Kuchiki~” seru Ichigo nyengir kuda.

Dan sekali lagi, Rukia membatu. Kalau begitu, Ichigo adalah saudara jauh dari yang terjauh, paling jauh, sangat jauh, dan begitu jauh sepupunya?

Toushirou tidak menampakkan ekspresi—bingung juga harus bereaksi seperti apa—pria tampan berambut orange di depannya ini terlihat sangat bersemangat untuk meyakinkannya bahwa dia adalah sepupu dari Rukia. Sambil mendesah, yang bisa dia lakukan sekarang adalah percaya dengan apa yang ia dengar. Lagipula, setelah di teliti, Rukia memang terlihat gugup dan hanya bisa diam saat pria bernama Ichigo itu yang terus berusaha menjelaskan kepadanya.

“Sudahlah,” kata Toushirou menyerah, “intinya, kau ini saudaranya Rukia, kan? Senang bertemu denganmu,” sambungnya berusaha ramah. 

Tidak ingin situasi aneh seperti ini terus berlangsung, dengan cepat Rukia langsung maju mengalihkan perhatian Toushirou. “Tumben sekali kau datang pagi-pagi begini, Toushirou.”

Dan usaha Rukia berhasil, Toushirou kembali menatapnya—masih dengan datar—dan membalas, “Aku ingin mengajakmu sarapan pagi, tapi sepertinya kau kedatangan tamu,” ucapnya sambil kembali melirik ke arah Ichigo yang masih tidak di mengerti sikapnya yang terus senyum-senyum tidak jelas melihat mereka berdua.

Rukia langsung menoleh mengikuti arah pandang Toushirou, wajahnya memancar kegusaran sekaligus raut ekspresi yang seolah-olah berkata, “Cepat pakai bajumu dan keluar dari rumahku sekarang juga, pria mesum!”

Di tatap seperti itu, Ichigo kembali memperlihatkan gigi putihnya. Seakan-akan menjawab telepati yang Rukia berikan. “Saat ini aku adalah sepupumu, tenang saja~”

Wanita itu hanya bisa mengerutkan keningnya, kesal. Kalau si maniak celana dalam ini tidak mau keluar, dia yang akan keluar mengajak Toushirou!

“Bagaimana kalau kita ke kedai kopi di bawah, Toushirou?” ajak Rukia.

“Baiklah,” Toushirou mengangguk. “Kau tidak ganti baju dulu?”

Rukia terdiam sejenak, wajahnya mengamati tubuhnya, sadar bahwa ia masih mengenakan pakaian tidur. Terlalu panik dengan apa yang terjadi membuatnya lupa bahwa di hadapan Toushirou ia terlihat jelek! Akhirnya, dengan gugup—berusaha menyembunyikan wajahnya yang masih setengah mengantuk—Rukia langsung berhambus menuju kamarnya. “Tunggu aku 5 menit!”

Dan brak! Terdengar bunyi pintu yang di dorong keras. Sekali lagi meninggalkan Toushiro dan Ichigo dalam satu ruangan. Ichigo hanya menatap heran pria berambut putih yang masih tetap berdiri di ambang pintu. 

“Kau ini pacarnya Rukia, kan? Kenapa kau masih tetap di ambang pintu seperti tukang delivery saja,” timpal Ichigo tidak tahu malu.

“Rukia belum mengizinkanku masuk,” jawab Toushirou santai.

“Kalian pacaran sudah berapa lama, sih?” tanya Ichigo tidak habis pikir. Saat ini, dia betul-betul meresapi perannya sebagai sepupu Rukia. “Kenapa sikapmu seperti tamu, bukan pacar.”

Di sindir begitu—apalagi sama saudara sepupu kekasihnya sendiri—membuat Toushirou langsung beranjak masuk. Tanpa permisi ia langsung menghampiri sofa putih empuk Rukia dan duduk di atasnya. Tanpa permisi, tanpa meminta izin, ia langsung melakukan hal yang sebenarnya ingin sekali ia lakukan dari dulu: bersikap selayaknya pasangan normal.

Masih berperan menjadi sepupu Rukia, Ichigo ikut duduk di samping Toushirou. “Jadi, kalian bertemu di mana? SMA? Kuliah?” tanyanya berpura-pura—yah, hitung-hitung ia mendengar sebuah cerita.

“Di kenali oleh teman, saat itu Rukia sedang menghadapi ujian kelulusan SMA,” jawab Toushirou.

“Sudah berapa lama kau pacaran dengan Rukia?”

“Kurang lebih 4 tahun.”

“Ohhh,” Ichigo angguk-angguk. “Berapa umurmu?”

“27. Kenapa kau tanya umurku?” tanya Toushirou heran.

“Kukira kau seumuran dengan Rukia,” jawab Ichigo berusaha menutupi ketidak-tahuannya tentang umur sebenarnya gadis mungil yang saat ini mungkin ingin sekali menghajarnya karena sudah bertindak seenaknya. Saat melihat Rukia, Ichigo yakin, umur wanita itu jauh di bawahnya. Mungkin beda sekitar 5 atau lebih. Wanita mungil yang sangat menggemaskan.

Terdengar suara pintu di buka, Rukia pun muncul setelah mengganti pakaiannya dengan pakaian yang layak. Ia memakai celana bahan berwarna hitam dipadu dengan sebuah blazer berwarna sama. Saat ini, wanita itu terlihat seperti seorang wanita karier yang mempesona. Rambut hitamnya sudah tersisir rapi dan sudah terikat sempurna. Wajahnya sudah terpoles oleh sedikit bedak dan riasan simple sesuai ciri khasnya. Sebuah tas jinjing yang selalu ia pakai untuk kerja sudah melingkar di tangan kanannya. Dengan ini, Rukia siap untuk berangkat kerja.

“Maaf sudah membuatmu menunggu, Toushirou.” 

Suara Rukia membuat kedua pria yang tengah berbincang pun menoleh ke arahnya. Anehnya, hanya melihat dirinya rapi sanggup membuat kedua pria itu tanpa sadar berdiri dari tempatnya. Kedua mata Toushirou terpaku melihat betapa anggunnya Rukia—kekasih mungilnya.

“Wow~” tatapan Toushirou teralihkan oleh suara siulan dari Ichigo. Kening Rukia berkerut, kenapa pria asing ini masih berada di rumahnya dan masih belum memakai baju?

Toushirou langsung menghampiri Rukia, tersenyum penuh arti. Tangannya membelai pelan rambut hitam yang terlihat berkilau terkena sinar lampu putih. Sisa wangi shampoo masih membekas di setiap helai rambutnya.

“Kita pergi sekarang?” bisik Toushirou lembut.

Rukia mengangguk singkat. Sebelum itu, dia harus melakukan sesuatu terhadap pria asing yang masih berpura-pura sebagai sepupu jauhnya. “Bisakah kau tunggu aku di bawah, Toushirou? Aku harus berpamitan dengan kakak sepupuku dulu,” pintanya berdusta. Setidaknya Rukia harus memastikan pria tampan berambut jingga ini keluar dari rumahnya sekarang juga.

Toushirou hanya mengangguk pelan dan keluar tanpa berpaling lagi. Akhirnya, Rukia boleh bernafas lega. Setidaknya untuk saat ini. Untung pria itu tidak mencurigainya. Sekarang, ia harus melakukan sesuatu.

“Toushirou adalah pria yang sangat tampan. Kau memang pandang memilih lelaki, Rukia,” ujar Ichigo sambil meraih baju kemeja putih yang ia taruh di samping kursi.

Rukia mendesah berat lalu berpaling menatapnya. “Kapan kau keluar dari rumahku, Ichigo?”

“Kau pergi aku juga pergi,” kata Ichigo santai sembari memakai kembali kemejanya. Tangannya mulai mengancing setiap kancing yang belum tersambung. Setelah selesai, ia melirik ke arah kulkas putih yang bisa menapakkan bayangannya sendiri, memastikan dirinya sudah rapi.

By the way,” Rukia harus mengucapkan sesuatu kepada pria itu, “terima kasih karena sudah berpura-pura jadi sepupuku di depan Toushirou. Aku hanya tidak ingin dia salah paham dengan apa yang terjadi,” katanya menjelaskan.

Seulas senyuman tipis tersungging di bibir Ichigo. Rukia terlihat begitu manis saat mengucapkan kata-kata itu. Ia sendiri tidak tahu kenapa selalu berpikiran begitu terus untuk wanita mungil di depannya ini. Wanita asing yang mampu menarik perhatiannya secara tidak wajar. Setengah dari hatinya sedikit menyesali kenapa Rukia sudah ada yang punya, namun setengah dari hatinya malah memunculkan sebuah ide nakal yang membuatnya berdebar.

Pria itu mendengus pelan, di gelengkan kepalanya, membuang semua pikiran aneh yang tiba-tiba merayap menembus otaknya. Dia tidak akan melakukan apa-apa untuk wanita mungil ini. Setidaknya masih belum untuk saat ini.

“Sama-sama, menyenangkan juga bersandiwara seperti tadi,” balasnya tertawa singkat. 

“Masih seputar penyamaran tadi,” Rukia berpikir sejenak, “kenapa kau harus berperan jadi sepupuku yang melambai? Apa tidak ada cara yang lebih normal lagi?” tanyanya tidak habis pikir.

Ichigo terkekeh. “Kalau tidak begitu, nanti yang ada pacarmu akan curiga. Lagipula, aku senang melihat reaksinya tadi, sangat menggemaskan~” serunya seakan-akan Toushirou adalah boneka teddy bear yang sangat lucu.

“Jadi, kau adalah maniak celana dalam sekaligus pria tidak normal?” tunding Rukia.

Mendengar penuturan itu, Ichigo tertawa. Akhirnya—dengan sedikit penyesalan—ia melangkah menuju tempat Rukia berdiri dan melewatinya. Dia harus segera pergi ke kantor sebelum sahabatnya a.k.a Ishida Uryuu kembali menerornya seperti kemarin malam. Sebelum pergi, Ichigo kembali berpaling untuk menatap wajah mungil Rukia. Ambernya menatap lekat pesona violet yang berpendar cerah dari kedua bola mata wanita itu, pandangannya lalu turun menuju sebuah bibir tipis yang kemarin berhasil ia curi ciumannya, sebuah ciuman yang memikat, yang ingin ia rasakan sekali lagi.

Perlahan, jemarinya ingin menangkup lagi pipi Rukia yang lembut. Ichigo ingin menciumnya, namun rencananya tertunda karena Rukia merasakan getaran muncul dari tas jinjing yang ia bawa. Dengan cepat Rukia mengambil ponsel flipnya dan mengangkatnya.

“Aku akan turun sebentar lagi, Tou—“ kata-kata Rukia terhenti. Ichigo tahu, pasti Toushirou yang menelponnya. Matanya terus mengamati punggung Rukia yang mejauhkan diri agar lebih fokus ke orang yang sedang menghubunginya. Kepalanya mengangguk pelan, mungkin karena paham dengan apa yang Toushirou katakan di telepon, Rukia pun kembali berbicara. “Tidak apa-apa, tidak usah minta maaf begitu. Apa boleh buat, bos Zaraki yang memintamu untuk cepat datang, aku tidak mungkin menjadi alasanmu untuk membantahnya,” jelas Rukia berusaha bercanda. “Jangan sampai lupa sarapan, yah? Hati-hati.” Rukia kembali melipat ponselnya, dan menaruhnya di tas. Dari balik punggungnya, Ichigo tahu wanita itu tengah mendesah berat. Punggungnya terlihat lemas.

“Ada apa?” tanya Ichigo, penasaran. “Kenapa Toushirou?”

“Dia harus segera ke kantor karena bos kami membutuhkannya, apa boleh buat,” jawab Rukia sambil mengendikkan bahunya. Ia kembali mendesah untuk yang kedua kalinya.

“Kau kecewa?”

“Tidak juga, itu sudah tuntutan pekerjaan. Bagiku, pekerjaannya lebih penting daripada perasaan,” ujar Rukia berbalik melewati kembali Ichigo yang berusaha menatapnya tajam, seakan menembus tubuhnya. Dia tidak akan memperlihatkan rasa sedih atau kecewa apalagi di depan orang asing.

Ichigo hanya mendengus—lebih tepatnya mengejek. “Kau kecewa. Sebenarnya kau ingin marah tapi kau tidak bisa,” tebak Ichigo langsung.

Gerakan Rukia terhenti, kembali menoleh dengan kening yang mengerut. “Oh, yah? Kenapa bisa begitu?” tanyanya menantang.

“Aku tidak tahu. Aku hanya bisa menilai kau tidak bahagia dengan keadaanmu sekarang,” jawab Ichigo apa adanya. Memang dasar kebiasaannya yang selalu berbicara seenaknya dan apa adanya ini kadang suka datang di saat yang tidak tepat. Namun, hatinya senang saat melihat reaksi Rukia yang tidak terima dengan pendapatnya.

“Aku bahagia atau tidak, itu bukan urusanmu,” ujar Rukia geram. Tidak ingin melanjutkan perbincangan yang bisa membuat moodnya buruk, ia memutuskan untuk cepat pergi dari hadapan pria itu. Tidak peduli Ichigo masih ada di dalam atau tidak.

Mendengar jawaban Rukia yang penuh emosi itu, Ichigo malah semakin ingin menggodanya lebih jauh. “So, apa kau bahagia dengan Toushirou, Rukia? Apa selama 4 tahun kau tetap menanggung semuanya seperti ini? Di-nomor-duakan setelah pekerjaan?”

Dengan cepat Rukia berbalik geram, mukanya mengerut begitu dalam, memperlihatkan dengan jelas bahwa ia tersinggung dengan ucapan Ichigo. Sebenarnya ia sangat ingin membalas ucapan yang terang-terangan itu, tetapi suaranya tertahan di kerongkongannya. Tak ada kata-kata yang bisa Rukia balas untuk pria berambut orange itu. Pendapat yang menyebalkan sekaligus menyakitkan, yang ironisnya datang dari seorang pria asing yang baru bertemu beberapa jam dengannya.

Sebenarnya, jauh di dalam hati Rukia, ia setuju dengan ucapan Ichigo. Namun, harga dirinya tidak bisa menerima di nilai dengan seenaknya oleh pria itu. Memang siapa dia? Apa haknya untuk mengurusi hubungan Rukia dengan Toushirou?

Ichigo menyeringai puas, melihat Rukia kesal karena tak mampu membalas kata-katanya membuatnya semakin ingin terus mengomentari wanita itu. “Kau tidak jujur kepada dirimu sendiri, Rukia. Kau akan sakit kalau begitu terus. Sekali-kali, lepaskanlah rantai yang membelenggu kakimu. Hancurkanlah topeng yang menutupi siapa dirimu yang sesungguhnya.” Ichigo tidak membiarkan Rukia membalas ucapannya. Pria itu langsung melengos keluar, membiarkan wanita mungil itu memikirkan kata-katanya. Sebelum itu, Ichigo menyelesaikan satu kalimat terakhir. “Intinya: just be yourself.”

Tanpa sadar, Rukia berjalan untuk mengamati punggung bidang yang semakin menjauh itu. Punggung Ichigo yang tertutupi balutan kemeja putih, dan juga rambut jingganya jika di lihat dari belakang. Pria itu terlihat memesona, sama sekali tidak menapakkan seorang maniak celana dalam atau melambai.

Untuk yang kesekian kalinya, Rukia mendesah berat. Ia harus berusaha mengontrol perasaannya sendiri daripada nanti saat di kantor wanita itu akan berubah menjadi wanita yang sangat menyebalkan. Melepaskan topeng, bagi Rukia itu bukanlah hal yang mudah.


xXxXx


Zaraki company, keadaannya masih sama seperti terakhir kali Toushirou tinggalkan tempat itu. Tetap padat akan karyawan yang berlalu-lalang, tumpukan dokumen yang masih belum di kerjakan masih setia bertengger rapi di setiap meja, termasuk dokumen milik pria itu sendiri. Mungkin bagi setiap orang yang bekerja di sini, kantor ini sudah menjadi neraka setiap harinya. Selalu di penuhi dengan segala macam pekerjaan, dan lagi harus sabar menghadapi pemimpin yang selalu bertindak seenaknya. Namun herannya, mereka sama sekali tidak mengeluh dengan pekerjaan mereka. Mereka tetap setia mengerjakannya sampai selesai. Mungkinkah itu yang di namakan loyalitas terhadap pekerjaan?

Seperti halnya Toushirou, hari masih pagi, namun ia harus menghadap direktur secepatnya. Sepertinya Zaraki Kenpachi membutuhkan Toushirou karena ada sebuah project untuk perusahaan mereka.

“Apa yang bisa kubantu, bos?” tanya Toushirou langsung. Pria ini memang terkenal tidak suka berbasa-basi, meski pun dengan direkturnya sendiri. Mungkin karena itulah Zaraki Kenpachi menyukainya.

“Sebenarnya aku ingin berbasa-basi denganmu, cebol, tapi apa boleh buat, itu bukan gayamu,” seru Zaraki Kenpachi yang seenaknya memanggil Toushirou dengan sebutan cebol. Hello? Toushirou tidak sependek Rukia—setidaknya khusus di fic ini—ia hanya beda beberapa inci dari Ichigo. Tapi memang, bos di depannya ini memang dua kali lipat lebih tinggi darinya, wajar saja jika lelaki tua itu menyebut Toushirou cebol. “Akhirnya aku bisa bertemu dengan bos Kurosaki yang terkenal sok sibuk dan sangat susah untuk ditemui itu. Ise Nanao sudah mengabariku dia akan bertemu dengannya saat jam makam siang. Aku ingin kau yang menemuinya dan meyakinkan untuk bekerja sama dengan perusahaan kita,” lanjut sang bos menjelaskan tujuannya.

Ise Nanao, seseorang karyawan yang bisa di katakan sebagai perantara yang menyatukan satu perusahaan dengan perusahaan lain ini adalah salah satu kenalan dekat Zaraki Kenpachi. Berkat Nanao-lah, Zaraki Company yang dulu hampir mengalami kebangkrutan terselamatkan berkat sedikit bantuan dari sedikit saham karena saat itu Kurosaki Isshin, mantan direktur sekaligus pendiri Kurosaki company bersedia membeli beberapa persen meski pun ia tahu perusahaan itu tengah mengalami penurunan dahsyat. Berkat itu, akhirnya Zaraki mampu bertahan apalagi sejak kehadiran Toushirou sebagai bawahannya.

Kali ini, ia tidak ragu untuk mengajak kerja sama perusahaan besar itu. Zaraki yakin ia akan mendapatkan keuntungan yang lebih banyak jika perusahaan Kurosaki bersedia join dengan usahanya. Tidak peduli apakah nanti ia tidak menjadi bos lagi atau perusahaannya di ambil alih oleh orang lain, ia akan mendapatkan keuntungan banyak dari semua ini.

Toushirou mendengus pelan, sepertinya percuma kalau ia menentang keputusan bosnya meski pun sebenarnya ia sangat ingin memberikan saran bahwa semuanya terjadi begitu cepat. Belum tentu dari pihak Kurosaki setuju dengan keputusan Zaraki. Mereka bukan orang bodoh yang langsung percaya dan setuju dengan rencana kerja sama ini.

Saat ini, yang bisa ia lakukan hanyalah menjalankan perintah yang Zaraki berikan untuknya.


xXxXx


Ichigo telah tiba di depan kantor tempatnya bekerja. Belum juga langkahnya memasuki pintu masuk yang berputar, ia sudah di cegat oleh seorang pria berkacamata yang kemarin menerornya. Ishida Uryuu, sambil melipat dada dan menatap geram Ichigo, menunggu pria di depannya untuk bicara.

“Yo, Ishida~” sapa Ichigo cuek. Tidak peduli Ishida yang melotot ganas kepadanya. “Kenapa kau masih melotot kepadaku? Aku kan sudah datang,” sambungnya manja.

“Hentikan kebiasaan jelekmu itu!” seru Ishida jijik. Lalu mengikuti jejak Ichigo yang melintas masuk, menuju loby, dan dengan bosan harus pasang senyuman untuk orang-orang yang membungkuk hormat dan menyapanya. Gerakan mereka terhenti menunggu sebuah lift untuk menuju lantai tempat kantor Ichigo berada.

“Ise-san masih mencarimu?” tanya Ichigo memecahkan keheningan.

“Kau akan bertemu dengannya saat jam makan siang, seperti yang kau katakan kemarin malam.”

Ichigo mendengus, lebih menyerupai sebuah protes karena mendapat pekerjaan yang tidak ingin dia lakukan. “Kenapa wanita itu ngotot sekali, sih? Bukankah seminggu yang lalu aku sudah bilang padanya, aku tidak tertarik bekerja sama dengan perusahaan yang dulu hampir bangkrut itu,” keluhnya.

“Kau tidak pernah menolaknya secara langsung. Temui dia dan katakan itu sendiri, dia tidak akan menyerah sebelum mendapatkan izin untuk menemuimu,” balas Ishida.

“Aku harus bertemu dengan siapa lagi selain Ise-san?” tanya Ichigo pasrah.

“Hmmm,” Ishida mulai mengingat kembali apa yang ia bicarakan dengan Ise Nanao kemarin. Tak lupa ia masuk ke dalam lift yang sudah datang. “Kalau tidak salah, kau akan bertemu dengan manager dari Zaraki Company, Hitsugaya Toushirou.”

Pintu elevator sudah tertutup dan Ichigo langsung menoleh ke arah Ishida sambil mengerutkan keningnya tidak percaya. Hitsugaya Toushirou? Manager Zaraki company? Toushirou? Kekasih Rukia?  

Tanpa sadar bibirnya menyeringai, ia senang karena Tuhan memberikan sebuah kejutan dalam hidupnya. Kejutan yang penuh warna setelah ia merasa hari-harinya terasa seperti hitam di atas kertas putih. Hampa. Membosankan.

“Ishida, segera telepon Ise-san, suruh ia menghadapku sekarang juga. Aku tidak mau menunggu sampai jam makan siang,” pinta Ichigo langsung merubah semua rencananya. Seringaian liciknya masih belum bisa hilang dari celah bibirnya.

Ishida menatapnya heran. Kenapa Ichigo yang terkenal keras kepala dan bebal jika sudah menyangkut keputusan yang ia ambil bisa langsung berubah pikiran secepat itu. Penasaran namun malas untuk menanyakan alasannya, Ishida langsung meraih ponsel putihnya dan menekan dial nomor Ise Nanao.

Setelah di angkat oleh wanita berkacamata itu, Ishida langsung to the point berkata. “Ise-san, Kurosaki-sama ingin Anda dan Hitsugaya Toushirou menemuinya sekarang.”

Ichigo bersiul-siul pelan, menunggu Ishida sedang bernegosiasi waktu dengan wanita di seberang. Setelah bicara beberapa menit, pria itu menutup ponselnya dan mendesah panjang.

“Ise-san akan datang secepatnya,” ucap Ishida menyerah.

Ichigo memunculkan senyuman kudanya. Membuat manager sekaligus sahabat terdekatnya ini bingung sebingung-bingungnya. Sikapnya yang langsung aneh ini memang selalu tidak terduga. Itulah Kurosaki Ichigo, entah apa yang sedang pria tampan itu pikirkan. Selama itu tidak membuat Ishida kerepotan nantinya, ia tidak akan protes.


xXxXx


Jika suasana hati seorang Kurosaki Ichigo sedang bahagia, lain ceritanya dengan Kuchiki Rukia. Sejak mendengar satu ucapan dari seorang pria mesum berambut jingga tadi, Rukia selalu uring-uringan. Bahkan ia tidak bisa berkonsentrasi saat di hadapkan oleh tumpukkan dokumen yang harus ia selesaikan secepatnya untuk di bawa Toushirou nanti saat pria itu bertemu dengan direktur dari Kurosaki company.

Sialan! Dengan cara apa pun, ia harus memulihkan kembali moodnya yang rusak, ia harus secepatnya menyelesaikan berkas-berkas menyusahkan ini.

‘Brengsek! Dasar brengsek! Memang siapa dia seenaknya berkomentar seperti itu kepadaku! Dasar pria tua mesum! Mesum! MESUM! M-E-S-U-M!!!’

Jari-jari Rukia saat menekan tombol kursor semakin terdengar jelas. Dia hanya bisa melampiaskan ke komputer yang tidak berdaya melawannya. Bahkan suara ketikannya terdengar jelas sampai membuat Kiyone menegurnya.

“Ng, kau tidak apa-apa, Rukia?” sapa Kiyone khawatir.

Barulah Rukia tersadar, tangannya berhenti sejenak, wajahnya menoleh, bengong. “Eh? Aku kenapa?” tanyanya tidak sadar.

“Sepertinya ada sesuatu yang mengganggumu, wajahmu terlihat pucat,” kata Kiyone.

Rukia langsung menoleh mencari-cari cermin, melirik sekilas apakah maskara yang ia pakai beleber makanya dia terlihat lebih suram. Pantulan kaca tidak memperlihatkan riasannya rusak, namun apa yang Kiyone katakan ada benarnya, kerutan di dahi Rukia terlihat semakin dalam dan tidak mau hilang. Berarti sejak tadi keningnya terus mengerut seperti itu. Seperti kerutan milik seorang pria berambut jeruk yang punya hobi melihat pakaian dalam wanita dan senang berakting sebagai gay.

“Ah, aku tidak apa-apa, kok. Mungkin terlalu lelah karena sering melihat ke layar komputer,” kata Rukia berusaha menutupi perasaan yang masih mengganjalnya. Dia tidak terbiasa bercerita tentang masalahnya kepada siapa pun, bahkan saat sekolah dulu. Wanita itu tidak mempunyai teman dekat, hanya beberapa kenalan, dan itu pun Rukia jarang berkomunikasi dengan mereka. Bahkan saat berada di kantor pun, ia terlihat berusaha tidak terlalu dekat dengan teman sebayanya. Mungkin karena tidak ingin terlalu terikat dengan sesuatu yang semu.

Ya, aslinya Rukia tidak percaya dengan istilah ‘persahabatan’. Baginya, hanya ada teman bukan sahabat.
“Ngomong-ngomong, apa kau tahu?” Kiyone mulai bercerita, hitung-hitung saat ini dia sedang tidak ada kerjaan dan sepertinya Rukia perlu dihibur karena pekerjaannya. “Kudengar dari si-sial Kotsubaki, Hitsugaya-taichou di perintahkan bos Zaraki untuk bertemu dengan direktur dari Kurosaki company, lho.”
Oh, mungkin itu sebabnya kenapa bos meminta Toushirou untuk cepat menghadap kepadanya. Rukia mengangguk mengerti sekarang. “Oh yah? Bagaimana hasilnya?” tanyanya mencoba tertarik dengan apa yang Kiyone ceritakan sambil tetap melanjutkan pekerjaannya.

“Katanya, kalau dari pihak Kurosaki setuju, maka manager Toushirou akan di pindah-tugaskan ke perusahaan Kurosaki yang ada di Amerika.”

Sontak Rukia terlonjak kaget, “APA?!” bahkan tanpa sadar ia menggebrak meja kerjanya.

Jika Toushirou pindah ke Amerika, bagaimana dengan nasib hubungan mereka?


Chapter 2 - end -








Tidak ada komentar: