Bleach = Kubo Tite
Our Broken Masks = Searaki Icchy
Rate = (So far) M for safe
Genre = Drama, Friendship, Romance, Slice of Life, dll
Warning dengan segala macam kekurangan yang ada di dalam fic ini
Enjoy :)
================================================================================================================================================
The Meeting
Untuk
pertama kalinya bagi seorang Kuchiki Rukia di hadapkan dengan situasi aneh yang
tidak pernah dia sangka. Toushirou berada di depan pintu, di sambut dengan
sangat baik oleh seorang pria tampan asing maniak celana dalam bernama Ichigo tanpa
sehelai pakaian yang menutupi tubuh bidangnya. Dan pria berambut jabrik putih
kekasihnya ini hanya bisa diam menatap Ichigo.
“Siapa
kau?” pertanyaan Toushirou sepertinya tidak akan berubah sampai Ichigo
menjawabnya.
“Kau
sendiri siapa?” Ichigo pun sama ngototnya seperti pria menatap angkuh ke
arahnya. Karena Toushirou tidak bersedia menjawab dirinya akhirnya dia pun
menoleh dan bertanya kepada Rukia. “Rukia, siapa pria ini?”
Rukia
tidak bergerak. Di dalam kepalanya sudah membayangkan berbagai macam reaksi
yang Toushirou keluarkan dan memberikan efek pada hubungan mereka. Matanya
memicing tajam ke arah Ichigo. Seenaknya saja bertanya seakan-akan dialah
pemilik ruangan ini.
Tenang, bersikaplah tenang. Jangan panik.
Rukia memejamkan mata, menghembuskan nafas sejenak, lalu berjalan menghampiri
Toushirou sambil tersenyum menyapanya.
“Hei,
Toushirou. Kenapa kau datang sepagi ini?” tanya Rukia—berusaha—bersikap biasa.
“Rukia,
siapa pria ini?” tanya Toushirou mengalihkan perhatian untuk wanitanya.
“Ngg,
dia ini—“ suara Rukia terhenti karena terpotong oleh kata-kata Ichigo. “Jadi
kau pacarnya Rukia, yah? Kyaaaaaa~ ternyata seperti yang kubayangkan Rukia, dia
pria yang sangat tampan!”
Rukia
bengong. Ichigo mendadak berubah sikap yang sanggup menghancurkan image
tampannya. Pria berambut orange ini tanpa malu-malu membelai mesra pipi
Toushirou yang membatu karena tingkahnya yang berubah drastis menjadi seseorang
yang melambai. Apalagi sikapnya yang
terang-terangan membelai setiap lekukan wajah Toushirou sampai akhirnya pemuda
tanpa ekspresi itu risih.
“Hentikan
tanganmu,” Toushirou menepis tangan Ichigo dingin. “Siapa kau?” tanyanya sekali
lagi.
“Ah,
maaf…” setelah mengembalikan tangannya ke kantung celananya, Ichigo menyengir
lebar ala kuda, “kenalkan, aku sepupunya Rukia, Ichigo, Shirou-chan~”
Rukia
dan Toushirou sama-sama ber-sweatdrops ria. Apa-apaan kelakuan pria aneh ini?
Apa yang sedang dia lakukan dengan berpura-pura menjadi sepupu Rukia? Yang
lebih penting, kenapa kelakuannya ini berubah seratus delapan puluh derajat?
Mata tosca Toushirou menyipit heran. “Setahuku, Rukia tidak punya saudara sepupu.
Apalagi saudara laki-laki bertelanjang dada,” jelasnya datar.
Rukia
mati kutu. Harus lakukan sesuatu!
Otaknya berpikir dua kali lipat, lebih baik berterus terang kepada kekasihnya
sebelum pria itu berpikiran yang tidak-tidak.
“Toushirou,
sebenarnya—“ lagi-lagi, kalimat Rukia terhenti karena di ambil alih oleh
Ichigo.
“Sebenarnya,
aku adalah saudara jauh Rukia. Aku adalah anak dari kakaknya, kakeknya, pamannya,
sepupunya, keponakannya, tantenya, adiknya, saudaranya, bibinya, neneknya,
pamannya—pokoknya saudara nun jauuuhh di sana dari keluarga Kuchiki~” seru
Ichigo nyengir kuda.
Dan
sekali lagi, Rukia membatu. Kalau begitu, Ichigo adalah saudara jauh dari yang
terjauh, paling jauh, sangat jauh, dan begitu jauh sepupunya?
Toushirou
tidak menampakkan ekspresi—bingung juga harus bereaksi seperti apa—pria tampan
berambut orange di depannya ini terlihat sangat bersemangat untuk meyakinkannya
bahwa dia adalah sepupu dari Rukia. Sambil mendesah, yang bisa dia lakukan
sekarang adalah percaya dengan apa yang ia dengar. Lagipula, setelah di teliti,
Rukia memang terlihat gugup dan hanya bisa diam saat pria bernama Ichigo itu
yang terus berusaha menjelaskan kepadanya.
“Sudahlah,”
kata Toushirou menyerah, “intinya, kau ini saudaranya Rukia, kan? Senang
bertemu denganmu,” sambungnya berusaha ramah.
Tidak
ingin situasi aneh seperti ini terus berlangsung, dengan cepat Rukia langsung
maju mengalihkan perhatian Toushirou. “Tumben sekali kau datang pagi-pagi
begini, Toushirou.”
Dan
usaha Rukia berhasil, Toushirou kembali menatapnya—masih dengan datar—dan
membalas, “Aku ingin mengajakmu sarapan pagi, tapi sepertinya kau kedatangan
tamu,” ucapnya sambil kembali melirik ke arah Ichigo yang masih tidak di
mengerti sikapnya yang terus senyum-senyum tidak jelas melihat mereka berdua.
Rukia
langsung menoleh mengikuti arah pandang Toushirou, wajahnya memancar kegusaran
sekaligus raut ekspresi yang seolah-olah berkata, “Cepat pakai bajumu dan keluar dari rumahku sekarang juga, pria mesum!”
Di
tatap seperti itu, Ichigo kembali memperlihatkan gigi putihnya. Seakan-akan
menjawab telepati yang Rukia berikan. “Saat
ini aku adalah sepupumu, tenang saja~”
Wanita
itu hanya bisa mengerutkan keningnya, kesal. Kalau si maniak celana dalam ini
tidak mau keluar, dia yang akan keluar mengajak Toushirou!
“Bagaimana
kalau kita ke kedai kopi di bawah, Toushirou?” ajak Rukia.
“Baiklah,”
Toushirou mengangguk. “Kau tidak ganti baju dulu?”
Rukia
terdiam sejenak, wajahnya mengamati tubuhnya, sadar bahwa ia masih mengenakan
pakaian tidur. Terlalu panik dengan apa yang terjadi membuatnya lupa bahwa di
hadapan Toushirou ia terlihat jelek! Akhirnya, dengan gugup—berusaha
menyembunyikan wajahnya yang masih setengah mengantuk—Rukia langsung berhambus
menuju kamarnya. “Tunggu aku 5 menit!”
Dan
brak! Terdengar bunyi pintu yang di dorong keras. Sekali lagi meninggalkan
Toushiro dan Ichigo dalam satu ruangan. Ichigo hanya menatap heran pria
berambut putih yang masih tetap berdiri di ambang pintu.
“Kau
ini pacarnya Rukia, kan? Kenapa kau masih tetap di ambang pintu seperti tukang
delivery saja,” timpal Ichigo tidak tahu malu.
“Rukia
belum mengizinkanku masuk,” jawab Toushirou santai.
“Kalian
pacaran sudah berapa lama, sih?” tanya Ichigo tidak habis pikir. Saat ini, dia
betul-betul meresapi perannya sebagai sepupu
Rukia. “Kenapa sikapmu seperti tamu,
bukan pacar.”
Di
sindir begitu—apalagi sama saudara sepupu kekasihnya sendiri—membuat Toushirou
langsung beranjak masuk. Tanpa permisi ia langsung menghampiri sofa putih empuk
Rukia dan duduk di atasnya. Tanpa permisi, tanpa meminta izin, ia langsung
melakukan hal yang sebenarnya ingin sekali ia lakukan dari dulu: bersikap
selayaknya pasangan normal.
Masih
berperan menjadi sepupu Rukia, Ichigo ikut duduk di samping Toushirou. “Jadi,
kalian bertemu di mana? SMA? Kuliah?” tanyanya berpura-pura—yah, hitung-hitung
ia mendengar sebuah cerita.
“Di
kenali oleh teman, saat itu Rukia sedang menghadapi ujian kelulusan SMA,” jawab
Toushirou.
“Sudah
berapa lama kau pacaran dengan Rukia?”
“Kurang
lebih 4 tahun.”
“Ohhh,”
Ichigo angguk-angguk. “Berapa umurmu?”
“27.
Kenapa kau tanya umurku?” tanya Toushirou heran.
“Kukira
kau seumuran dengan Rukia,” jawab Ichigo berusaha menutupi ketidak-tahuannya
tentang umur sebenarnya gadis mungil yang saat ini mungkin ingin sekali
menghajarnya karena sudah bertindak seenaknya. Saat melihat Rukia, Ichigo
yakin, umur wanita itu jauh di bawahnya. Mungkin beda sekitar 5 atau lebih.
Wanita mungil yang sangat menggemaskan.
Terdengar
suara pintu di buka, Rukia pun muncul setelah mengganti pakaiannya dengan
pakaian yang layak. Ia memakai celana bahan berwarna hitam dipadu dengan sebuah
blazer berwarna sama. Saat ini, wanita itu terlihat seperti seorang wanita
karier yang mempesona. Rambut hitamnya sudah tersisir rapi dan sudah terikat
sempurna. Wajahnya sudah terpoles oleh sedikit bedak dan riasan simple sesuai
ciri khasnya. Sebuah tas jinjing yang selalu ia pakai untuk kerja sudah
melingkar di tangan kanannya. Dengan ini, Rukia siap untuk berangkat kerja.
“Maaf
sudah membuatmu menunggu, Toushirou.”
Suara
Rukia membuat kedua pria yang tengah berbincang pun menoleh ke arahnya.
Anehnya, hanya melihat dirinya rapi sanggup membuat kedua pria itu tanpa sadar
berdiri dari tempatnya. Kedua mata Toushirou terpaku melihat betapa anggunnya
Rukia—kekasih mungilnya.
“Wow~”
tatapan Toushirou teralihkan oleh suara siulan dari Ichigo. Kening Rukia
berkerut, kenapa pria asing ini masih berada di rumahnya dan masih belum
memakai baju?
Toushirou
langsung menghampiri Rukia, tersenyum penuh arti. Tangannya membelai pelan
rambut hitam yang terlihat berkilau terkena sinar lampu putih. Sisa wangi
shampoo masih membekas di setiap helai rambutnya.
“Kita
pergi sekarang?” bisik Toushirou lembut.
Rukia
mengangguk singkat. Sebelum itu, dia harus melakukan sesuatu terhadap pria
asing yang masih berpura-pura sebagai sepupu jauhnya. “Bisakah kau tunggu aku
di bawah, Toushirou? Aku harus berpamitan dengan kakak sepupuku dulu,” pintanya
berdusta. Setidaknya Rukia harus memastikan pria tampan berambut jingga ini
keluar dari rumahnya sekarang juga.
Toushirou
hanya mengangguk pelan dan keluar tanpa berpaling lagi. Akhirnya, Rukia boleh
bernafas lega. Setidaknya untuk saat ini. Untung pria itu tidak mencurigainya.
Sekarang, ia harus melakukan sesuatu.
“Toushirou
adalah pria yang sangat tampan. Kau memang pandang memilih lelaki, Rukia,” ujar
Ichigo sambil meraih baju kemeja putih yang ia taruh di samping kursi.
Rukia
mendesah berat lalu berpaling menatapnya. “Kapan kau keluar dari rumahku,
Ichigo?”
“Kau
pergi aku juga pergi,” kata Ichigo santai sembari memakai kembali kemejanya.
Tangannya mulai mengancing setiap kancing yang belum tersambung. Setelah
selesai, ia melirik ke arah kulkas putih yang bisa menapakkan bayangannya
sendiri, memastikan dirinya sudah rapi.
“By the way,” Rukia harus mengucapkan
sesuatu kepada pria itu, “terima kasih karena sudah berpura-pura jadi sepupuku
di depan Toushirou. Aku hanya tidak ingin dia salah paham dengan apa yang
terjadi,” katanya menjelaskan.
Seulas
senyuman tipis tersungging di bibir Ichigo. Rukia terlihat begitu manis saat
mengucapkan kata-kata itu. Ia sendiri tidak tahu kenapa selalu berpikiran
begitu terus untuk wanita mungil di depannya ini. Wanita asing yang mampu
menarik perhatiannya secara tidak wajar. Setengah dari hatinya sedikit
menyesali kenapa Rukia sudah ada yang punya, namun setengah dari hatinya malah
memunculkan sebuah ide nakal yang membuatnya berdebar.
Pria
itu mendengus pelan, di gelengkan kepalanya, membuang semua pikiran aneh yang
tiba-tiba merayap menembus otaknya. Dia tidak akan melakukan apa-apa untuk
wanita mungil ini. Setidaknya masih belum
untuk saat ini.
“Sama-sama,
menyenangkan juga bersandiwara seperti tadi,” balasnya tertawa singkat.
“Masih
seputar penyamaran tadi,” Rukia berpikir sejenak, “kenapa kau harus berperan jadi
sepupuku yang melambai? Apa tidak ada
cara yang lebih normal lagi?”
tanyanya tidak habis pikir.
Ichigo
terkekeh. “Kalau tidak begitu, nanti yang ada pacarmu akan curiga. Lagipula,
aku senang melihat reaksinya tadi, sangat menggemaskan~” serunya seakan-akan
Toushirou adalah boneka teddy bear yang sangat lucu.
“Jadi,
kau adalah maniak celana dalam sekaligus pria tidak normal?” tunding Rukia.
Mendengar
penuturan itu, Ichigo tertawa. Akhirnya—dengan sedikit penyesalan—ia melangkah
menuju tempat Rukia berdiri dan melewatinya. Dia harus segera pergi ke kantor
sebelum sahabatnya a.k.a Ishida Uryuu kembali menerornya seperti kemarin malam.
Sebelum pergi, Ichigo kembali berpaling untuk menatap wajah mungil Rukia.
Ambernya menatap lekat pesona violet yang berpendar cerah dari kedua bola mata
wanita itu, pandangannya lalu turun menuju sebuah bibir tipis yang kemarin
berhasil ia curi ciumannya, sebuah ciuman yang memikat, yang ingin ia rasakan
sekali lagi.
Perlahan,
jemarinya ingin menangkup lagi pipi Rukia yang lembut. Ichigo ingin menciumnya,
namun rencananya tertunda karena Rukia merasakan getaran muncul dari tas
jinjing yang ia bawa. Dengan cepat Rukia mengambil ponsel flipnya dan
mengangkatnya.
“Aku
akan turun sebentar lagi, Tou—“ kata-kata Rukia terhenti. Ichigo tahu, pasti
Toushirou yang menelponnya. Matanya terus mengamati punggung Rukia yang
mejauhkan diri agar lebih fokus ke orang yang sedang menghubunginya. Kepalanya
mengangguk pelan, mungkin karena paham dengan apa yang Toushirou katakan di
telepon, Rukia pun kembali berbicara. “Tidak apa-apa, tidak usah minta maaf
begitu. Apa boleh buat, bos Zaraki yang memintamu untuk cepat datang, aku tidak
mungkin menjadi alasanmu untuk membantahnya,” jelas Rukia berusaha bercanda.
“Jangan sampai lupa sarapan, yah? Hati-hati.” Rukia kembali melipat ponselnya,
dan menaruhnya di tas. Dari balik punggungnya, Ichigo tahu wanita itu tengah
mendesah berat. Punggungnya terlihat lemas.
“Ada
apa?” tanya Ichigo, penasaran. “Kenapa Toushirou?”
“Dia
harus segera ke kantor karena bos kami membutuhkannya, apa boleh buat,” jawab
Rukia sambil mengendikkan bahunya. Ia kembali mendesah untuk yang kedua
kalinya.
“Kau
kecewa?”
“Tidak
juga, itu sudah tuntutan pekerjaan. Bagiku, pekerjaannya lebih penting daripada
perasaan,” ujar Rukia berbalik melewati kembali Ichigo yang berusaha menatapnya
tajam, seakan menembus tubuhnya. Dia tidak akan memperlihatkan rasa sedih atau
kecewa apalagi di depan orang asing.
Ichigo
hanya mendengus—lebih tepatnya mengejek. “Kau kecewa. Sebenarnya kau ingin
marah tapi kau tidak bisa,” tebak Ichigo langsung.
Gerakan
Rukia terhenti, kembali menoleh dengan kening yang mengerut. “Oh, yah? Kenapa
bisa begitu?” tanyanya menantang.
“Aku
tidak tahu. Aku hanya bisa menilai kau tidak
bahagia dengan keadaanmu sekarang,” jawab Ichigo apa adanya. Memang dasar
kebiasaannya yang selalu berbicara seenaknya dan apa adanya ini kadang suka
datang di saat yang tidak tepat. Namun, hatinya senang saat melihat reaksi
Rukia yang tidak terima dengan pendapatnya.
“Aku
bahagia atau tidak, itu bukan urusanmu,” ujar Rukia geram. Tidak ingin
melanjutkan perbincangan yang bisa membuat moodnya buruk, ia memutuskan untuk
cepat pergi dari hadapan pria itu. Tidak peduli Ichigo masih ada di dalam atau
tidak.
Mendengar
jawaban Rukia yang penuh emosi itu, Ichigo malah semakin ingin menggodanya
lebih jauh. “So, apa kau bahagia dengan Toushirou, Rukia? Apa selama 4 tahun
kau tetap menanggung semuanya seperti ini? Di-nomor-duakan setelah pekerjaan?”
Dengan
cepat Rukia berbalik geram, mukanya mengerut begitu dalam, memperlihatkan
dengan jelas bahwa ia tersinggung dengan ucapan Ichigo. Sebenarnya ia sangat
ingin membalas ucapan yang terang-terangan itu, tetapi suaranya tertahan di
kerongkongannya. Tak ada kata-kata yang bisa Rukia balas untuk pria berambut
orange itu. Pendapat yang menyebalkan sekaligus menyakitkan, yang ironisnya
datang dari seorang pria asing yang baru bertemu beberapa jam dengannya.
Sebenarnya,
jauh di dalam hati Rukia, ia setuju dengan ucapan Ichigo. Namun, harga dirinya
tidak bisa menerima di nilai dengan seenaknya oleh pria itu. Memang siapa dia?
Apa haknya untuk mengurusi hubungan Rukia dengan Toushirou?
Ichigo
menyeringai puas, melihat Rukia kesal karena tak mampu membalas kata-katanya
membuatnya semakin ingin terus mengomentari wanita itu. “Kau tidak jujur kepada
dirimu sendiri, Rukia. Kau akan sakit kalau begitu terus. Sekali-kali, lepaskanlah
rantai yang membelenggu kakimu. Hancurkanlah topeng yang menutupi siapa dirimu
yang sesungguhnya.” Ichigo tidak membiarkan Rukia membalas ucapannya. Pria itu
langsung melengos keluar, membiarkan wanita mungil itu memikirkan kata-katanya.
Sebelum itu, Ichigo menyelesaikan satu kalimat terakhir. “Intinya: just be yourself.”
Tanpa
sadar, Rukia berjalan untuk mengamati punggung bidang yang semakin menjauh itu.
Punggung Ichigo yang tertutupi balutan kemeja putih, dan juga rambut jingganya
jika di lihat dari belakang. Pria itu terlihat memesona, sama sekali tidak
menapakkan seorang maniak celana dalam atau melambai.
Untuk
yang kesekian kalinya, Rukia mendesah berat. Ia harus berusaha mengontrol
perasaannya sendiri daripada nanti saat di kantor wanita itu akan berubah
menjadi wanita yang sangat menyebalkan. Melepaskan topeng, bagi Rukia itu
bukanlah hal yang mudah.
xXxXx
Zaraki
company, keadaannya masih sama seperti terakhir kali Toushirou tinggalkan
tempat itu. Tetap padat akan karyawan yang berlalu-lalang, tumpukan dokumen
yang masih belum di kerjakan masih setia bertengger rapi di setiap meja,
termasuk dokumen milik pria itu sendiri. Mungkin bagi setiap orang yang bekerja
di sini, kantor ini sudah menjadi neraka setiap harinya. Selalu di penuhi
dengan segala macam pekerjaan, dan lagi harus sabar menghadapi pemimpin yang
selalu bertindak seenaknya. Namun herannya, mereka sama sekali tidak mengeluh
dengan pekerjaan mereka. Mereka tetap setia mengerjakannya sampai selesai.
Mungkinkah itu yang di namakan loyalitas terhadap pekerjaan?
Seperti
halnya Toushirou, hari masih pagi, namun ia harus menghadap direktur
secepatnya. Sepertinya Zaraki Kenpachi membutuhkan Toushirou karena ada sebuah
project untuk perusahaan mereka.
“Apa
yang bisa kubantu, bos?” tanya Toushirou langsung. Pria ini memang terkenal tidak
suka berbasa-basi, meski pun dengan direkturnya sendiri. Mungkin karena itulah
Zaraki Kenpachi menyukainya.
“Sebenarnya
aku ingin berbasa-basi denganmu, cebol, tapi apa boleh buat, itu bukan gayamu,”
seru Zaraki Kenpachi yang seenaknya memanggil Toushirou dengan sebutan cebol. Hello? Toushirou tidak sependek
Rukia—setidaknya khusus di fic ini—ia hanya beda beberapa inci dari Ichigo.
Tapi memang, bos di depannya ini memang dua kali lipat lebih tinggi darinya,
wajar saja jika lelaki tua itu menyebut Toushirou cebol. “Akhirnya aku bisa
bertemu dengan bos Kurosaki yang terkenal sok sibuk dan sangat susah untuk
ditemui itu. Ise Nanao sudah mengabariku dia akan bertemu dengannya saat jam
makam siang. Aku ingin kau yang menemuinya dan meyakinkan untuk bekerja sama
dengan perusahaan kita,” lanjut sang bos menjelaskan tujuannya.
Ise
Nanao, seseorang karyawan yang bisa di katakan sebagai perantara yang
menyatukan satu perusahaan dengan perusahaan lain ini adalah salah satu kenalan
dekat Zaraki Kenpachi. Berkat Nanao-lah, Zaraki Company yang dulu hampir
mengalami kebangkrutan terselamatkan berkat sedikit bantuan dari sedikit saham
karena saat itu Kurosaki Isshin, mantan direktur sekaligus pendiri Kurosaki
company bersedia membeli beberapa persen meski pun ia tahu perusahaan itu
tengah mengalami penurunan dahsyat. Berkat itu, akhirnya Zaraki mampu bertahan
apalagi sejak kehadiran Toushirou sebagai bawahannya.
Kali
ini, ia tidak ragu untuk mengajak kerja sama perusahaan besar itu. Zaraki yakin
ia akan mendapatkan keuntungan yang lebih banyak jika perusahaan Kurosaki
bersedia join dengan usahanya. Tidak peduli apakah nanti ia tidak menjadi bos
lagi atau perusahaannya di ambil alih oleh orang lain, ia akan mendapatkan
keuntungan banyak dari semua ini.
Toushirou
mendengus pelan, sepertinya percuma kalau ia menentang keputusan bosnya meski
pun sebenarnya ia sangat ingin memberikan saran bahwa semuanya terjadi begitu
cepat. Belum tentu dari pihak Kurosaki setuju dengan keputusan Zaraki. Mereka
bukan orang bodoh yang langsung percaya dan setuju dengan rencana kerja sama
ini.
Saat
ini, yang bisa ia lakukan hanyalah menjalankan perintah yang Zaraki berikan
untuknya.
xXxXx
Ichigo
telah tiba di depan kantor tempatnya bekerja. Belum juga langkahnya memasuki
pintu masuk yang berputar, ia sudah di cegat oleh seorang pria berkacamata yang
kemarin menerornya. Ishida Uryuu, sambil melipat dada dan menatap geram Ichigo,
menunggu pria di depannya untuk bicara.
“Yo,
Ishida~” sapa Ichigo cuek. Tidak peduli Ishida yang melotot ganas kepadanya. “Kenapa
kau masih melotot kepadaku? Aku kan sudah datang,” sambungnya manja.
“Hentikan
kebiasaan jelekmu itu!” seru Ishida jijik. Lalu mengikuti jejak Ichigo yang
melintas masuk, menuju loby, dan dengan bosan harus pasang senyuman untuk
orang-orang yang membungkuk hormat dan menyapanya. Gerakan mereka terhenti
menunggu sebuah lift untuk menuju lantai tempat kantor Ichigo berada.
“Ise-san
masih mencarimu?” tanya Ichigo memecahkan keheningan.
“Kau
akan bertemu dengannya saat jam makan siang, seperti yang kau katakan kemarin
malam.”
Ichigo
mendengus, lebih menyerupai sebuah protes karena mendapat pekerjaan yang tidak
ingin dia lakukan. “Kenapa wanita itu ngotot sekali, sih? Bukankah seminggu
yang lalu aku sudah bilang padanya, aku tidak tertarik bekerja sama dengan
perusahaan yang dulu hampir bangkrut itu,” keluhnya.
“Kau
tidak pernah menolaknya secara langsung. Temui dia dan katakan itu sendiri, dia
tidak akan menyerah sebelum mendapatkan izin untuk menemuimu,” balas Ishida.
“Aku
harus bertemu dengan siapa lagi selain Ise-san?” tanya Ichigo pasrah.
“Hmmm,”
Ishida mulai mengingat kembali apa yang ia bicarakan dengan Ise Nanao kemarin.
Tak lupa ia masuk ke dalam lift yang sudah datang. “Kalau tidak salah, kau akan
bertemu dengan manager dari Zaraki Company, Hitsugaya Toushirou.”
Pintu
elevator sudah tertutup dan Ichigo langsung menoleh ke arah Ishida sambil
mengerutkan keningnya tidak percaya. Hitsugaya Toushirou? Manager Zaraki
company? Toushirou? Kekasih Rukia?
Tanpa
sadar bibirnya menyeringai, ia senang karena Tuhan memberikan sebuah kejutan
dalam hidupnya. Kejutan yang penuh warna setelah ia merasa hari-harinya terasa
seperti hitam di atas kertas putih. Hampa. Membosankan.
“Ishida,
segera telepon Ise-san, suruh ia menghadapku sekarang juga. Aku tidak mau
menunggu sampai jam makan siang,” pinta Ichigo langsung merubah semua
rencananya. Seringaian liciknya masih belum bisa hilang dari celah bibirnya.
Ishida
menatapnya heran. Kenapa Ichigo yang terkenal keras kepala dan bebal jika sudah
menyangkut keputusan yang ia ambil bisa langsung berubah pikiran secepat itu.
Penasaran namun malas untuk menanyakan alasannya, Ishida langsung meraih ponsel
putihnya dan menekan dial nomor Ise Nanao.
Setelah
di angkat oleh wanita berkacamata itu, Ishida langsung to the point berkata.
“Ise-san, Kurosaki-sama ingin Anda dan Hitsugaya Toushirou menemuinya
sekarang.”
Ichigo
bersiul-siul pelan, menunggu Ishida sedang bernegosiasi waktu dengan wanita di
seberang. Setelah bicara beberapa menit, pria itu menutup ponselnya dan
mendesah panjang.
“Ise-san
akan datang secepatnya,” ucap Ishida menyerah.
Ichigo
memunculkan senyuman kudanya. Membuat manager sekaligus sahabat terdekatnya ini
bingung sebingung-bingungnya. Sikapnya yang langsung aneh ini memang selalu
tidak terduga. Itulah Kurosaki Ichigo, entah apa yang sedang pria tampan itu
pikirkan. Selama itu tidak membuat Ishida kerepotan nantinya, ia tidak akan
protes.
xXxXx
Jika
suasana hati seorang Kurosaki Ichigo sedang bahagia, lain ceritanya dengan
Kuchiki Rukia. Sejak mendengar satu ucapan dari seorang pria mesum berambut
jingga tadi, Rukia selalu uring-uringan. Bahkan ia tidak bisa berkonsentrasi
saat di hadapkan oleh tumpukkan dokumen yang harus ia selesaikan secepatnya
untuk di bawa Toushirou nanti saat pria itu bertemu dengan direktur dari
Kurosaki company.
Sialan!
Dengan cara apa pun, ia harus memulihkan kembali moodnya yang rusak, ia harus
secepatnya menyelesaikan berkas-berkas menyusahkan ini.
‘Brengsek! Dasar brengsek! Memang siapa dia
seenaknya berkomentar seperti itu kepadaku! Dasar pria tua mesum! Mesum! MESUM!
M-E-S-U-M!!!’
Jari-jari
Rukia saat menekan tombol kursor semakin terdengar jelas. Dia hanya bisa
melampiaskan ke komputer yang tidak berdaya melawannya. Bahkan suara ketikannya
terdengar jelas sampai membuat Kiyone menegurnya.
“Ng,
kau tidak apa-apa, Rukia?” sapa Kiyone khawatir.
Barulah
Rukia tersadar, tangannya berhenti sejenak, wajahnya menoleh, bengong. “Eh? Aku
kenapa?” tanyanya tidak sadar.
“Sepertinya
ada sesuatu yang mengganggumu, wajahmu terlihat pucat,” kata Kiyone.
Rukia
langsung menoleh mencari-cari cermin, melirik sekilas apakah maskara yang ia
pakai beleber makanya dia terlihat lebih suram. Pantulan kaca tidak
memperlihatkan riasannya rusak, namun apa yang Kiyone katakan ada benarnya,
kerutan di dahi Rukia terlihat semakin dalam dan tidak mau hilang. Berarti
sejak tadi keningnya terus mengerut seperti itu. Seperti kerutan milik seorang
pria berambut jeruk yang punya hobi melihat pakaian dalam wanita dan senang
berakting sebagai gay.
“Ah,
aku tidak apa-apa, kok. Mungkin terlalu lelah karena sering melihat ke layar
komputer,” kata Rukia berusaha menutupi perasaan yang masih mengganjalnya. Dia
tidak terbiasa bercerita tentang masalahnya kepada siapa pun, bahkan saat
sekolah dulu. Wanita itu tidak mempunyai teman dekat, hanya beberapa kenalan,
dan itu pun Rukia jarang berkomunikasi dengan mereka. Bahkan saat berada di
kantor pun, ia terlihat berusaha tidak terlalu dekat dengan teman sebayanya.
Mungkin karena tidak ingin terlalu terikat dengan sesuatu yang semu.
Ya,
aslinya Rukia tidak percaya dengan istilah ‘persahabatan’.
Baginya, hanya ada teman bukan sahabat.
“Ngomong-ngomong,
apa kau tahu?” Kiyone mulai bercerita, hitung-hitung saat ini dia sedang tidak
ada kerjaan dan sepertinya Rukia perlu dihibur karena pekerjaannya. “Kudengar
dari si-sial Kotsubaki, Hitsugaya-taichou di perintahkan bos Zaraki untuk
bertemu dengan direktur dari Kurosaki company, lho.”
Oh,
mungkin itu sebabnya kenapa bos meminta Toushirou untuk cepat menghadap
kepadanya. Rukia mengangguk mengerti sekarang. “Oh yah? Bagaimana hasilnya?”
tanyanya mencoba tertarik dengan apa yang Kiyone ceritakan sambil tetap
melanjutkan pekerjaannya.
“Katanya,
kalau dari pihak Kurosaki setuju, maka manager Toushirou akan di
pindah-tugaskan ke perusahaan Kurosaki yang ada di Amerika.”
Sontak
Rukia terlonjak kaget, “APA?!” bahkan tanpa sadar ia menggebrak meja kerjanya.
Jika
Toushirou pindah ke Amerika, bagaimana dengan nasib hubungan mereka?
Chapter 2 - end -
Chapter 2 - end -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar