Bleach = Kubo Tite
Our Broken Masks = Searaki Icchy
Rate = (So far) M for safe
Genre = Drama, Friendship, Romance, Slice of Life, dll
Warning dengan segala macam kekurangan yang ada di dalam fic ini
Enjoy :)
==================================================================================================================================================================
The Dare
“Katanya, kalau dari pihak Kurosaki setuju,
manager Toushirou akan dipindah tugaskan ke perusahaan Kurosaki yang ada di
Amerika.”
Sialan! Sialan! Demi semua yang ada di neraka tingkat 7,
SIALAN! Rasanya Rukia ingin memaki
siapapun yang menghalangi jalannya. Dan oh yah, semua karyawan di kantornya
sepertinya memang meminta makian Rukia. Saat ini Toushirou berada di ruang bos
Zaraki yang berada di lantai 5, dan ternyata bukan hanya Rukia saja yang
menunggu lift butut milik kantornya yang tidak pernah Zaraki perbaiki selama
hampir dua tahun—dan anehnya masih bisa berfungsi dengan baik walaupun kadang
suka lemot—para pegawai lain juga sedang menunggu bersamanya. Yap, penuh sesak
seperti orang yang sedang mengantri sembako.
Rukia
ingin sekali murka. Apa-apaan kabar yang baru saja ia dengar dari Kiyone.
Toushirou akan di pindah tugaskan ke Amerika? Toushirou akan pindah tanpa
mengatakan apa-apa kepadanya? Toushirou
akan meninggalkan dirinya?
Oke,
bahkan sabar pun ada batasnya! Dia harus bertemu Toushirou segera! Rukia harus
membicarakan hal ini. Mereka masih berpacaran, kan? Rukia masih ada hak untuk
menolak berita ini, kan? Dia tidak ingin ditinggalkan, tidak juga ingin
menunggu. Dalam hal ini, sifat keras kepalanya memaksa muncul. Rukia harus merundingkan
ini dengan Toushirou sekarang juga.
Sayangnya,
saat pintu lift terbelah dua, Rukia terlambat masuk dan gagal bertarung melawan
para karyawan lain yang mempunyai tubuh dan kaki yang lebih panjang darinya.
Sialan! Bahkan dalam hal naik lift saja Rukia harus menunggu dua kali. Mau
tidak mau, Rukia akhirnya memilih rute lain.
xXxXx
Sementara
itu, Toushirou sudah duduk manis di ruang kerja besar bergaya inggris kuno
dengan karpet permadani tebal motif macan dibawah kakinya. Bersama dengan Ise
Nanao, sesuai janji yang sudah disepakati, Toushirou akan bertemu dengan
pemilik Kurosaki company. Walaupun yang ia temui saat ini bukan Kurosaki
Isshin, tetapi putra sulungnya bernama Kurosaki Ichigo.
Ichigo… Ichigo… namanya tidak terasa asing di telinga Toushirou. Tadi pagi,
saat berkunjung ke apartemen Rukia, Toushirou bertemu dengan seorang pria aneh
yang menyebut dirinya sebagai sepupu Rukia. Pria berambut orange terang jabrik,
tanpa pakaian dengan tubuh kotak-kotak berlipat enam, membelainya dengan
kedipan manja dan menyatakan dirinya sebagai sepupu jauh Rukia.
Untuk
sesaat, Toushirou melirik sosok Ise Nanao yang duduk tepat di sebelahnya. Nanao
mempunyai tubuh yang tinggi sedang. Rambutnya biasa dijepit sederhana dan sopan
dipadu dengan kacamata tipis yang selalu dia pakai. Sorot matanya tajam dan
serius—terlihat dari semangat dan kenekatannya untuk tetap bertemu dengan pihak
Kurosaki meskipun sudah ditolak berulang kali—Nanao juga tidak terlalu suka
berbasa-basi seperti kebanyakan orang bisnis. Tubuhnya terbalutkan blazer hitam
dan rok selutut ketat berwarna sama, dipadu stocking hitam yang membungkuk
kakinya dengan higheels hitam pula.
Entah memang selera berpakaian perempuan itu terlalu kuno atau mempunyai
pikiran bahwa datang ke suatu tempat untuk tujuan bisnis sama dengan datang ke
pemakaman seseorang, Nanao seperti tidak terlalu peduli selama pakaian itu
terlihat formal dan rapi.
Toushirou
melirik sekilas jam tangan yang mengalung indah di tangan kanannya. Waktu
menunjukkan pukul 9.15 dan orang yang seharusnya bertemu dengannya belum juga
muncul dari balik pintu. Apakah Toushirou yang terlalu cepat datang ataukah
karena Kurosaki Ichigo punya hobi mengulur waktu?
Dilirik
lagi Nanao, wanita itu juga melakukan hal yang sama, melihat waktu.
“Apa
kita tidak datang terlalu cepat, Ise-san?” tanya Toushirou akhirnya, memecah
keheningan.
“Tidak.
Ishida Uryuu tadi menghubungiku agar kita datang kemari secepatnya.” Nanao
menjawab.
Sudah
hampir setengah jam sejak panggilan dari Ise Nanao yang meminta Toushirou
segera datang ke gedung Kurosaki company. Dan setengah jam pula waktu Toushirou
habis terbuang.
Setelah
beberapa saat Toushirou mengambang di dalam angannya, pintu ruangan pun
akhirnya terbuka. Toushirou dan Nanao secara otomatis langsung berdiri
menyambut pemilik ruangan tersebut. Ishida Uryuu yang pertama kali membuka
pintu, diikuti oleh seorang pemuda berambut terang. Pria itu memakai kemeja
berwarna hitam dengan celana berwarna sama. Dasi berwarna cokelat terang
mengalung indah di antara lehernya, membuatnya masih terlihat formal sekaligus
santai. Mata cokelatnya tertutupi kacamata, namun tatapannya mampu menembus
siapapun yang memandangnya.
Tentu
saja Toushirou tahu siapa pria itu. Dia sudah bertemu dengannya tadi pagi di
dalam apartemen kekasih mungilnya. Sepupu jauh Rukia? Rasanya tidak mungkin…
“Terima
kasih karena bersedia bertemu dengan kami, Kurosaki-sama,” Nanao membungkuk
sopan kepada pria berambut terang itu. Toushirou pun tak lupa ikut menunduk
agar kerjasama ini dapat diterima karena kesopanan yang ia perlihatkan kepada
putra Kurosaki itu.
Ichigo
menggaruk kepalanya. Dia benci dipanggil seformal itu oleh Nanao. “Santai saja,
Ise-san.”
Sambil
membetulkan kacamatanya yang turun, Nanao mulai berbicara tentang tujuannya.
“Anda pasti sudah tahu dari Ishida-san tentang maksud kedatangan kami. Jadi,
aku langsung bicara ke intinya saja. Bos kami, Zaraki Kenpachi, mengajak
perusahaan Ayah anda, Kurosaki company,
untuk bergabung dengan perusahaan Zaraki.”
Nanao
berceloteh panjang lebar tentang visi dan misi perusahaan Zaraki dan hampir
terlihat keinginannya untuk meyakinkan Ichigo agar menerima kerjasama ini.
Ishida Uryuu sebenarnya sudah menghubungi Kurosaki Isshin, bertanya kepadanya
tentang masalah ini, tapi pria paruh baya itu menyerahkan semua keputusan padanya
dan Ichigo. Mau tidak mau, Uryuu harus menunggu pendapat Ichigo baru memutuskan
semuanya. Ichigo hampir menguap karena pembicaraan yang semakin membuatnya
bosan. Dia ingin segera keluar dari ruangan itu dan tidur. Kalau bisa kembali
ke apartemen Rukia.
Ah,
Rukia… perempuan mungil yang memesona.
“Bagaimana
menurut Anda, Kurosaki-san?” suara Nanao membuyarkan lamunan indahnya.
Ichigo
memperhatikan Hitsugaya Toushirou yang masih diam di samping Ise Nanao. Pria
itu hanya duduk diam, tidak memberikan komentar kecuali diperlukan. Pria yang
tidak suka berbasa-basi, pikir Ichigo. Dia menyukai hal itu.
“Jika
perusahaan Anda setuju, kami akan mengirim saudara Hitsugaya Toushirou ke
Amerika sesuai perjanjian.” Lagi-lagi suara Nanao menyela lamunannya.
“Amerika?”
dahi Ichigo mengerut. Begitu juga dengan Toushirou. Dia tidak mendengar hal ini
dari Zaraki.
“Benar,
Zaraki Kenpachi yang membuat keputusan. Tentu saja, kami akan mengirim karyawan
kami lebih banyak untuk—“
Ichigo
memotong penjelasan Nanao dengan menoleh ke Uryuu. “Ishida, antarkan tamu kita
yang cantik ini, aku ada perlu dengan tamu yang satunya.” Dari pada mendengar
omongan Nanao panjang lebar, lebih baik dia berbicara empat mata dengan pria di
sampingnya. Toushirou yang daritadi hanya diam, duduk manis mendengarkan,
walaupun wajahnya terlihat sangat serius dan berharap agar rencana ini
terlaksana.
Sesuai
perintah, Ishida langsung menuntun Ise Nanao keluar ruangan. Meskipun awalnya
enggan, Nanao pun membungkuk pamit lalu mengikuti langkah Ishida. Sesaat hening
menyelimuti setiap nafas yang berhembus. Toushirou masih belum membuka suara,
sedangkan Ichigo dengan cuek menjentikkan kedua jarinya. Sepertinya mereka
berdua menunggu salah satu bicara.
5
menit… Ichigo mengetukkan jarinya ke meja. Toushirou duduk diam.
10
menit… Ichigo melihat sekeliling ruangan. Toushirou masih diam.
15
menit… Ichigo mulai tidak nyaman. Toushirou tetap diam.
20
menit… Ichigo sudah hampir gila. Toushirou hanya menggerak tangan untuk
menggaruk kepala.
Toushirou
tidak akan membuka mulutnya jika Ichigo tidak memancingnya. Okelah, daripada
dia bisa gila karena bosan, basa-basi bukan ide yang buruk. Ketika Ichigo
bermaksud buka suara, ternyata tanpa disangka-sangka, Toushiroulah yang memulai
percakapan.
“Kau
ini bukan saudara jauh Rukia.” Itu bukan pertanyaan, tapi pernyataan.
“Kenapa
kau berkata begitu?” pancing Ichigo tertarik.
“Rukia
tidak pernah punya saudara sepupu selain kakak dan kakak ipar yang kini tinggal
di Hokkaido. Terlebih lagi,” Toushirou hampir mendengus geli membayangkan
bagaimana usaha Rukia saat mencoba meyakinkannya tentang Ichigo. “Tingkat
kebohongan Rukia setara dengan anak tingkat sekolah dasar. Dia tidak pandai
berbohong.”
Tanpa
sadar Ichigo menyunggingkan senyum. Dia tertarik untuk membahas ini dengan pria
yang sudah pasti akan menjadi rivalnya. “Bisa saja Rukia gugup karena tidak
ingin kau salah paham?”
Tidak
terpengaruh hasutan Ichigo, Toushirou mengubah topik mereka kembali ke awal.
“Apa kau akan setuju berkerja sama dengan Zaraki company?”
“Aku
sedang memikirkannya.”
“Apa
yang kau pikirkan?”
“Kenapa
kau harus pindah ke Amerika jika kau
bisa bekerja di sini bersamaku? Dan apa yang akan dikatakan Rukia jika dia tahu
tentang hal ini?”
Dengan
sangat terpaksa, Toushirou harus menatap kedua mata cokelat yang berkilat jail.
Memancing kembali untuk membahas tentang Rukia. Kenapa hanya mendengar nama
wanitanya diucapkan oleh pria lain membuatnya merasa tidak nyaman.
Toushirou
memalingkan pandangan ke sembarang tempat, tidak ingin mengungkit apa pun yang
bisa menghubungkannya dengan Rukia saat ia sedang bekerja. Rukia dan
pekerjaannya adalah dua hal yang sangat berbeda.
Ichigo
sadar akan tindakan yang Toushirou keluarkan. Pria itu tidak nyaman saat
kekasihnya terus disinggung saat ia tidak ingin membahasnya. Perubahan kecil
itu memanjakan matanya. Dia senang saat Toushirou terlihat tidak nyaman.
Berbeda dengan Toushirou, Ichigo tidak akan ragu menyinggung Rukia meski ia
sedang sibuk sekalipun.
“Apakah
aku harus pergi ke Amerika?” tanya Toushirou mengalihkan pertanyaan. “Apakah
itu salah satu syarat agar kalian setuju bekerja sama dengan perusahaan kami?”
Ichigo
menghembuskan nafas mengalah karena Toushirou sangat susah untuk dipancing
apalagi menyangkut kehidupan pribadinya. Well, dari ini saja Ichigo sudah bisa
melihat seberapa besar pengaruh Hitsugaya Toushirou di dalam perusahaan Zaraki.
Toushirou pasti anak buah kesayangan Zaraki. Dan sebenarnya merupakan suatu
tindakan yang sangat bodoh karena sudah memberikan anak emas yang paling
berharga ke perusahaan lain. Menyerahkan Toushirou hanya demi penggabungan
perusahaan adalah suatu tindakan gegabah yang pasti akan dilakukan Zaraki
Kenpachi.
Tatapan
Ichigo berubah menjadi serius. Di tatapnya lekat gerak-gerik Toushirou, menilai
secara rinci dan jelas. Dia tidak tertarik dengan harapan Zaraki, dia hanya
tertarik dengan pria ini. Toushirou harus bekerja di bawah pengawasan Kurosaki company.
“Itu
hakmu untuk pergi ke Amerika atau tidak. Tapi, ketika kami setuju untuk
bekerja-sama dengan kalian, itu berarti kau harus bekerja di bawah kekuasaanku.
Apa kau tidak keberatan?” Ichigo memberikan pertanyaan terakhir.
Entah
kenapa rasanya mustahil kalau semua pilihan itu ada di tangan Toushirou. Karena
sejujurnya Toushirou tidak terbiasa memilih keputusannya sendiri jika
menyangkut soal pekerjaan. Biasanya yang memutuskan sepak terjangnya adalah
Zaraki selaku pemilik perusahaan. Toushirou hanya memberikan saran dan ketika
disetujui ia akan melakukannya.
“Aku
harus bicarakan hal itu dulu dengan bos Zaraki.”
“Aku
tidak butuh pendapat bosmu, aku menyuruhmu untuk memilih sendiri keputusanmu,
Hitsugaya Toushirou.” Ichigo dapat menilai bahwa Toushirou terlalu setia, bukan
ke yang baik. Pria ini terlalu setia bahkan sampai setiap gerakan dan
tindakannya harus ada persetujuan dari Zaraki. Dasar pria bodoh, pikir Ichigo
tidak habis pikir.
Toushirou
mengerut. “Keputusan ada di tangan pemimpin kami, Zaraki Kenpachi. Aku adalah
pegawainya dan aku harus menanyakan tentang keputusan ini kepadanya,” katanya
bersikeras.
“Sebenarnya,”
Ichigo mengacak kepalanya, tidak tertarik untuk melanjutkan masalah ini lebih
jauh. Toushirou ternyata keras kepala dalam hal ini. Well, berarti Ichigo tidak
bisa memakai taktiknya yang biasa, dia harus bersikap tegas untuk pria berambut
putih itu. “sekarang kau sudah bekerja di bawah pimpinanku, Toushirou. Dan
keputusanku adalah kau akan kukirim ke Amerika untuk bertemu langsung dengan
ayahku, Kurosaki Isshin, dan mempelajari tentang semua yang ada di dalam
perusahaan kami mulai dari awal hingga akhir. Kurasa bosmu tidak akan keberatan
dengan usulku ini?”
“Berarti
kau setuju bekerja sama dengan kami?” tanya Toushirou meminta kepastian.
Bahu
Ichigo terlihat lunglai, ingin cepat-cepat pergi dari ruangan dan mencari udara
segar. Pria di depannya ini terlalu serius. Jauh lebih serius daripada Ishida.
Berkat itu, Ichigo prihatin akan masa depan Rukia. Lagi-lagi… nama gadis itu
kembali melintas di benaknya.
“Ya,
aku setuju. Aku akan mengirim Ishida untuk bertemu dengan Zaraki.”
“Kau
tidak ikut datang?”
“Mengirim
Ishida sudah cukup meyakinkan bahwa aku setuju.” Ichigo beranjak dari tempat
duduk dan mulai melangkah menghampiri pintu keluar. Dia tidak terlalu suka
berbasa-basi, sudah cukup permainan yang sudah ia coba lakukan dengan
Toushirou. Sepertinya sia-sia memancing Toushirou untuk membicarakan tentang
Rukia.
Kalau
ingin bertemu dengan Rukia, Ichigo bisa bertemu dengannya kapan saja. Bukankah
itu salah satu sebabnya kenapa dia menyetujui penggabungan perusahaan ini?
Sebelum
keluar, Ichigo memberikan sebuah pesan kepada Toushirou. “Kau adalah aset
berharga, Hitsugaya Toushirou. Kejeniusanmu akan tumpul jika terus bekerja di
bawah pengaruh Zaraki. Dan ingat, kau seharusnya lebih fokus menjaga sesuatu yang sebenarnya lebih penting
dari pekerjaanmu.”
Toushirou
terdiam, merenungi satu kalimat terakhir yang Ichigo ucapkan untuknya. Sesuatu yang penting baginya, dia tahu
Ichigo membicarakan siapa itu sesuatu
yang sebenarnya lebih penting.
Rukia.
Kira-kira
bagaimana reaksi Rukia ketika ia tahu Toushirou akan berangkat menuju Amerika?
Apakah Rukia bisa memahami dan mengikhlaskan Toushirou pergi? Akhir-akhir ini,
kekasihnya berusaha mengerti dirinya jika itu menyangkut pekerjaan. Rukia tahu
seberapa besar Toushirou mencintai pekerjaannya dan seberapa besar pria itu
sangat sedang serius. Karena Rukia tahu Toushirou melakukan ini demi masa depan
mereka. Masa depan di mana mereka berdua melangkah menuju gerbang pernikahan. Berbeda
dengan Rukia, sebenarnya Toushirou sudah memikirkannya. Tentu saja ia ingin
menikahi Rukia secepatnya, mereka sudah menjalin hubungan kurang lebih empat
tahun, itu bisa dibilang sangat lama.
Apa
lebih baik Toushirou menikah dengan Rukia dan mengajak wanita itu pergi ke
Amerika bersamanya? Mungkin itu merupakan satu-satunya jalan bagi mereka. Tapi,
dia takut Rukia akan panik ketika ia mengatakan ini. Mungkin lebih baik dia
harus mencari Rukia dan membicarakan hal ini.
xXxXx
Langkah
Rukia berakhir di lantai paling atas gedung Zaraki. Dia tidak menemukan
Toushirou di dalam gedung. Pria itu juga tidak menghubunginya padahal saat ini
sudah lewat dari jam makan siang dan pastinya Toushirou sudah berurusan dengan
pihak Kurosaki.
Rukia
ingin bertemu dengan Toushirou. Dia sangat merindukan pria itu, dan sekarang
jauh lebih merindukannya dari hari-hari sebelumnya. Dipandanginya awan bulat menggantung di udara,
Rukia mendesah pelan. Sinar matahari tertutup oleh gumpalan awan, meredupkan
setengah dunia dan menyejukkan udara yang berhembus.
Ponsel
Rukia bergetar di saku kemejanya. Dengan sigap Rukia mengangkat panggilan itu,
berharap itu dari Toushirou. “Halo?” ketika Rukia tahu siapa yang
menghubunginya, matanya mengerjap lega. “Bagaimana urusanmu dengan perusahaan
Kurosaki, Toushirou?”
Di
seberang ponsel, Toushirou berkata pelan. “Semuanya baik-baik saja.”
Rukia
tahu ada sesuatu yang Toushirou sembunyikan dari dirinya. Ia sendiri pun sudah
tahu kabar angin dari Kiyone akan kepergian Toushirou ke Amerika jika
perusahaan Kurosaki setuju bergabung dengan Zaraki. Mungkin seharusnya Rukia
segera membicarakan hal ini secepatnya dengan Toushirou. Jika ini dibiarkan
akan semakin dalam mengganjal di hatinya. Mungkin seharusnya Rukia mulai lebih
terbuka dan berani untuk bertanya dengan Toushirou, mungkin dia harus
mengatakan tentang perasaannya yang sejujurnya kepada pria itu. Toushirou sudah
menjadi kekasih Rukia dalam kurun waktu yang bisa dibilang lama, kurang-lebih 4
tahun. Setidaknya dalam kurun waktu itu mereka berdua seharusnya lebih terbuka
dan saling mengeluarkan pendapat masing-masing.
Baiklah
Rukia sudah memutuskan, dia harus membahas masalah ini dengan Toushirou.
“Toushirou,
apa kau masih sibuk?” hati-hati Rukia bertanya. “Ada yang ingin kubicarakan
denganmu.”
Hening
sejenak, kemudian terdengar jawaban di seberang. “Sebenarnya aku juga ingin kita
membicarakan sesuatu. Kalau bisa secepatnya…”
Suara
Toushirou terdengar ragu dan itu membuat dahi Rukia berkerut. Kenapa dari
intonasi suaranya seolah-olah Toushirou tidak akan pernah menemui Rukia lagi.
Apa pria itu ingin berpisah dengannya?
Rasanya
awan putih gendut di atas kepala Rukia berubah menjadi hitam pekat bersama
ratusan petir.
Berusaha
untuk tetap tegar sekaligus mengusir prasangka buruk yang masih
terngiang-ngiang di kepalanya, Rukia berusaha agar suaranya tetap tenang. “Di
mana kau sekarang? Aku masih ada di kantor Zaraki. Kita bisa bicara di atap.”
“Baiklah, aku akan ada di sana sepuluh menit lagi.”
Panggilan
pun terputus, meninggalkan Rukia yang masih mengangkat ponselnya di telinga.
Menatap kosong lurus langit yang masih bersinar cerah. Matahari bersembunyi di
balik awan, membuatnya sinarnya jadi tidak terlalu panas. Angin berhembus sejuk
saat mengitari rambut Rukia pelan, membelainya agar wanita mungil itu tetap
terjaga.
Pikiran
Rukia masih berkumandang, berpikir merangkai kata-kata yang akan dia tanyakan
kepada Toushirou dan juga masih mengira-ngira apa yang akan pria itu bicarakan
dengannya.
Apakah
itu tentang keberangkatannya ke Amerika? Ataukah tentang hubungan mereka yang
akan berpisah? Rukia akan langsung menangis jika perkiraannya benar. Mungkin
saat ini dia harus menyiapkan mentalnya untuk kemungkinan terburuk. Setidaknya
saat itu benar-benar terjadi, Rukia tidak akan terlalu merasa sakit hati.
xXxXx
Sepuluh
menit ke depan, Toushirou sudah ada di lantai atas sesuai janji. Mengamati
punggung kecil yang menatap kosong dirinya. Rukia berdiri mengamati hamparan
langit yang menjulang dengan awan gendutnya. Tatapan begitu fokus, sampai tak
menyadari bahwa kekasihnya itu sudah melangkah mendekatinya.
Toushirou
masih belum bicara, tak ingin menganggu ketenangan wanita itu. Hitung-hitung ia
juga sedang mempersiapkan kata-kata yang pas untuk melamar wanita itu.
Bagaimana agar tidak membuat Rukia ketakutan karena lamarannya yang mendadak.
Memang Toushirou belum membelikan cincin pertunangan, namun ia sudah menetapkan
hati untuk meminta pinangan Rukia. Setidaknya ikatan mereka sebagai kekasih
akan lebih erat jika hubungan itu melangkah ke tingkat yang lebih pasti.
Pertunangan. Rukia tidak akan keberatan. Tidak. Dia pasti senang mendengar hal
itu keluar dari mulut Toushirou. Pria itu akan membahagiakan Rukia seperti yang
selalu ia inginkan. Mereka akan berbahagia.
“Rukia.”
Toushirou menyentuh pelan pundak yang terlihat rapuh itu. Tersenyum tipis
ketika melihat reaksi kaget Rukia saat berbalik menatapnya. Wanita itu
tersenyum hangat saat pria itu hadir, matanya menyiratkan perasaan lega
sekaligus sedih yang entah disebabkan karena apa.
“Pekerjaanmu
sudah selesai?” tanya Rukia.
“Ya.”
Toushirou tersenyum. Lebih baik dia bicara langsung ke tujuannya semula. “Begini,
aku ingin bicara denganmu soal kesepakatan bos Zaraki dengan Kurosaki company—“
“Aku
tahu.” Rukia memotongnya. Toushirou pun terkejut.
“Kau
tahu?”
“Ya.
Kiyone memberitahuku tadi,” jawab Rukia pelan. “Sepertinya kita harus
membicarakan tentang situasi ini.”
Toushirou
mengerti tentang kekhawatiran Rukia dan apa yang kekasih mungil itu pikirkan.
Rukia kepikiran tentang bagaimana hubungan mereka. Mata ungu itu berkilat
dengan penuh cemas, memohon agar diberikan jawaban yang memuaskan, bukan
menghancurkan. Pertama-tama, Toushirou menceritakan lengkap pertemuannya hari
ini dengan Rukia. Bagaimana dia dan Ise Nanao menunggu dan bertemu dengan
pemimpin kedua dari perusahaan Kurosaki, Kurosaki Ichigo. Setelah itu,
Toushirou juga ingin mendengar penjelasan dari Rukia kenapa pria yang ternyata
akan menjadi pimpinannya di masa mendatang bisa berada di dalam apartemen Rukia
tadi pagi tanpa pakaian yang membungkus badannya.
Awalnya,
Rukia kaget, lalu detik kemudian, ia menghela nafas. Sepertinya gadis itu bisa
menebak bahwa kebohongan tentang sepupu jauh ternyata memang tidak berpengaruh
terhadap Toushirou. Namun yang mengejutkan Rukia adalah kenyataan bahwa
pria-mesum-yang-seenaknya-masuk-ke-dalam-apartemennya ternyata adalah putra
dari seorang pengusaha terkenal di seluruh dunia dan juga merupakan pria yang
paling diincar oleh hampir seluruh wanita di Jepang.
Seharusnya
Rukia sudah bisa menebak sebelumnya, wajah Ichigo memang seperti yang selalu
Rukia dengar dari teman-teman sekantornya. Kurosaki Ichigo memiliki rambut yang
tak biasa, berwarna orange seperti matahari. Mempunyai mata cokelat paling
terang di antara mata lainnya. Tubuh atletis yang terpahat sempurna lengkap
dengan perut kotak-kotaknya. Dan yang paling menggiurkan dari semua itu adalah
satu fakta bahwa Ichigo selalu memperlakukan wanita layaknya seorang ratu.
“Benarkah
Kurosaki Ichigo adalah orang yang sama dengan yang ada di apartemenku tadi,
Toushirou?” tanya Rukia masih tidak yakin. Rasanya beda sekali dengan Rukia
lihat tadi pagi.
Toushirou
mengangguk pelan. “Dan dia jugalah yang memberiku pilihan, pergi ke Amerika
atau tidak. Dan aku memutuskan untuk pergi.”
Rukia
melihat gerak tangan Toushirou yang tak nyaman mengatakan ini kepadanya.
Suasana yang tadi sejuk itu perlahan berubah menjadi panas bersama awan yang
perlahan hilang memunculkan mentari.
“Berapa
lama kau akan pergi?”
“Satu-dua
bulan.”
Rukia
tidak mau ditinggal selama itu. Tidak. Satu minggu pun terasa lama baginya.
“Apa tidak ada jalan lain selagi pergi ke Amerika, Toushirou?” tanya Rukia lirih,
ia tidak ingin berpisah. “Bagaimana denganku? Bagaimana dengan hubungan kita?”
suaranya bergetar.
Toushirou
menggenggam tangan Rukia. Merasakan getaran yang kekasihnya keluarkan. Rukia
gemetar, ia tahu, Rukia tidak ingin berpisah dengannya. Well, Toushirou juga
sebenarnya tidak ingin meninggalkan Rukia. Dieluskan pelan telapak mungil itu,
merasakan kulit halus yang Toushirou pegang. Dia mengangkat tangan Rukia menuju
bibirnya, dikecupnya sayang.
“Maafkan
aku karena sudah membuat keputusan seenaknya tanpa berunding dulu denganmu.
Dengan persetujuan ini aku ingin belajar banyak dari perjalananku ke sana,
Rukia. Aku akan kembali menjadi orang besar dan bekerja bersamamu, dan kali ini
aku tidak akan ragu mengungkapkan tentang hubungan kita. Aku tidak ingin
merahasiakan lebih lama lagi hubunganku denganmu, aku ingin dunia tahu
bagaimana perasaanku kepadamu.”
Toushirou
menggenggam erat tangan Rukia. Meremas pelan sekaligus menghantarkan rasa
cinta, meyakinkan Rukia bahwa Toushirou tidak main-main dengan ucapannya.
Rukia
tertegun. Jarang sekali Toushirou memutuskan segala sesuatu dengan begitu impulsive.
Toushirou tipe pria yang selalu berpikir rasional, meskipun hal itu adalah
privasi miliknya. Pria itu pasti akan berpikir dua kali untuk konsekuensi atas
perbuatannya dengan rinci. Tapi sekarang, Rukia melihat Toushirou seperti orang
yang berbeda. Mata hijau yang selalu memancarkan sedingin es itu sekarang agak
lebih mencair.
Rukia
tersenyum hangat, menghargai usaha Toushirou yang bersedia memikirkan tentang
hubungan mereka. Terkutuklah dia jika tidak bersedia menunggu pria itu. Hanya
sebulan saja Toushirou pergi ke Amerika, bukan waktu yang lama untuk menunggu,
kan?
Rukia
menghembuskan nafas mengalah. “Baiklah,” ditatapnya lekat wajah tampan
kekasihnya. Rukia membelainya lembut. “Aku bersedia menunggumu. Tapi kau harus
berjanji kembalilah secepatnya dan bawa sesuatu yang berharga dari perjalananmu,”
ucapnya tulus.
Toushirou
tersenyum. Dalam hatinya ia bersyukur mempunyai kekasih yang sangat pengertian.
Rukia mengerti dirinya—dia berusaha memahami—bersedia menunggu untuknya.
Toushirou tidak akan menyia-nyiakan kepercayaan wanita itu.
Dikecupnya
tangan Rukia dengan penuh cinta. “Terima kasih, Rukia.” Toushirou melingkarkan
sesuatu di jari manis wanita itu.
Betapa
kagetnya Rukia saat ia melihat sebuah emas putih melingkar dengan cantik di
jari manisnya. Sebuah emas putih dengan sebuah batu berlian kecil ditengahnya.
Sebuah cincin yang simple namun elegan. Membuat Rukia menatap heran Toushirou,
wajahnya bertanya apa maksud cincin ini.
Pria
itu langsung mengecup lembut bibir Rukia. Melumat pelan setiap sudut bibir
Rukia, mencicipi dengan lembut dan perlahan setiap rasa yang ada dalam diri
Rukia. Tangannya mendekap hangat tubuh kecil itu, memeluknya erat agar bisa
mengisi kerinduannya nanti saat Rukia tidak ada bersamanya.
Rukia
merona saat Toushirou melepaskan ciumannya. Kaget karena tindakan tiba-tiba
pria itu—hal yang jarang Toushirou lakukan.
“Cincin
itu akan selalu membuatmu ingat bahwa kau milikku, Kuchiki Rukia,” kata
Toushirou. “Saat aku kembali, aku akan menggantinya dengan diriku utuh dengan
menjadikanmu istriku.”
Wajah
Rukia semakin memerah. Toushirou baru saja melamarnya? Benarkah pria itu
meminta dirinya untuk menikahinya?
“Apa
kau melamarku?” suaranya bergetar.
Toushirou
berusaha menahan tawanya. Dia tidak akan mengejek wanita itu. “Kau tidak mau?”
“Tentu
saja aku mau, aku hanya tidak menyangka kau akan melamarku secepat ini.”
Pria
itu tertawa, rambut tertawa arah angin menari di antara mereka. Seakan ikut
merasakan kebahagiaan Rukia. Toushirou mengacak pelan rambut hitam kekasihnya,
senyumnya terukir.
“Aku
harus segera menghadap bos Zaraki. Aku melaporkan tentang kejadian hari ini.
Dia pasti akan senang dengan berita persetujuan kerja-sana Kurosaki company.”
Toushirou
berjalan masuk, tak lupa menggandeng Rukia bersamanya. Rukia tidak bisa menjaga
senyumnya yang terus muncul karena sebuah cincin dan lamaran indah dari
Toushirou. Harinya yang menyebalkan hari ini rasanya tergantikan dengan sebuah
janji indah yang akan dia hadapi untuk satu bulan ke depan. Dia akan bahagia
menjadi istri Hitsugaya Toushirou, membina keluarga dengannya, melahirkan
anak-anak yang mereka hasilkan bersama, dan mendampingi Toushirou hinggat akhir
hayatnya. Oh, rasanya Rukia tidak sabar menantikan hal itu terjadi.
xXxXx
Sore
pun tiba, sudah saatnya Rukia mengakhiri masa kerjanya hari ini. Senandung
pelan mengiringi kegiatan Rukia membersihkan meja kerjanya. Terlalu bahagia
karena saat ini sebuah cincin berlian melingkar sempurna di jari manisnya.
Toushirou akan pergi ke Amerika besok, namun Rukia tidak terlalu bersedih
karenanya.
Untuk
apa? Setelah pria itu kembali ke Jepang, dia akan segera menjadi Mrs. Hitsugaya
Toushirou. Itu sebanding dengan penantiannya selama sebulan penuh.
Kiyone
yang melihat wajah cerita pun tersenyum heran. “Tadi pagi kau cemberut, sekarang
kau malah senyum-senyum. Sepertinya ada sesuatu yang membuatmu senang, Rukia.”
Rukia
menjawab dengan cengiran kudanya. “Untuk satu bulan ke depan mungkin aku akan
menjadi istri seseorang,” bisiknya karena tidak tahan ingin menceritakannya
kepada seseorang.
Berkat
Toushirou, Rukia pun jadi berubah kepribadiannya. Biasanya dia sangat tertutup
dan enggan untuk menceritakan privasinya kepada siapapun. Berhubung Rukia hanya
mempunyai beberapa teman, dia tidak pernah bercerita atau curhat tentang
masalah percintaannya. Tapi hari ini—khusus hari ini—dia akan menoleransi
sikapnya—hanya—untuk Kiyone karena perempuan mungil berambut pendek itu selalu
membantu pekerjaan Rukia, baik diminta maupun secara sukarela.
Tentu
saja reaksi Kiyone sama kaget dan wanita itu menganga tidak percaya. “Memangnya
kau punya calon? Kau tidak pernah bercerita tentang kekasihmu!” serunya Kiyone
pura-pura tidak terima, namun bibirnya tersenyum. “Sekarang ceritakan padaku
siapa pria beruntung itu!” lanjutnya bersemangat.
Rukia
mencuri-curi pandang ke arah Toushirou saat pria itu terlihat serius bicara
dengan Kira Izuru. Wanita itu hanya terkikik pelan. “Aku akan merahasiakannya
sampai bulan depan dan kau akan tahu siapa dia, Kiyone.”
Kiyone
cemberut karena rasa penasarannya tidak terobati. “Apa dia salah satu pegawai
di sini?” tanyanya semakin penasaran.
Rukia
masih terkikik. Membiarkan pertanyaan Kiyone mengambang. “Kau akan tahu nanti.”
Kiyone
akhirnya menyerah karena Rukia tetap berkeras tidak akan memberitahunya sampai
hari itu tiba. Akhirnya dia mengganti topik hangat yang baru saja dibicarakan
tadi sore saat Rukia dan Toushirou berada di atap.
“Kudengar
pihak Kurosaki setuju dengan tawaran bos Zaraki.”
“Oh yah?”
Rukia kaget pura-pura tak tahu.
“Tadi
manager dari pihak Kurosaki datang dan bertemu dengan bos kita. Beberapa menit
setelah perbincangan mereka, bos Zaraki langsung memberikan pengumuman bahwa aka
nada beberapa karyawan dari sini akan dipindah-tugaskan di kantor Kurosaki.”
Berita
yang sangat tidak biasa di telinga Rukia. Tapi kalau dipikir-pikir tidak heran
jika semuanya terjadi dengan tiba-tiba. Zaraki Kenpachi memang sudah lama
menginginkan rencananya berhasil,dan sudah tentu dia akan melakukan apa saja
untuk memuaskan perusahaan Kurosaki. Rukia menyentuh dagunya berpikir, beberapa
karyawan akan dipindah-tugaskan. Apakah namanya juga salah satu karyawan yang
pindah bersama dengan yang lain?
Kalau
bisa dia tidak ingin pergi dari sini. Meskipun Zaraki adalah pemimpin yang
seenaknya dan suka tidak konsisten dengan tugasnya, namun pria itu termasuk
pemimpin yang mempunyai toleransi tinggi dan tidak menuntut karyawannya terlalu
banyak selama kau mengerjakan tugasmu, tidak peduli bagaimana caranya.
“Apa
bos Zaraki sudah mengumumkan siapa saja yang akan pindah?” tanya Rukia.
“Katanya
ada permintaan dari pihak Kurosaki, dan seperti sifat pemimpin kita, bos Zaraki
langsung setuju dan langsung mengumumkan saat itu juga.”
“Siapa
saja yang pergi?” tanya Rukia penasaran.
“Hanya
dua orang, sih. Aku dan kau, Rukia.”
“Aku?”
Dahi
Rukia kembali mengerut. Wajahnya yang bahagia langsung berubah. Memangnya sejak
kapan dia menjadi salah satu karyawan teladan yang bisa diperhitungkan untuk
bekerja di perusahaan yang terkenal itu?
Chapter 3 - end
P.S : Kritik dan Saran sangat diterima.... Terima kasih :D
1 komentar:
terereng!
Hai! Saya muncul di sini, gak apa ya numpang komen.
Nah, akhirnya template blog-mu mobile friendly, yang kemaren default dr blogspot soalnya ga bisa dibuka di hp sih. Tapi sekarang bisa kok.
Komentar? Hm, apa ya? Saya udh ngikutin ini sejak awal, cuma yg saya agak heran kayaknya rasa suka ichigo pada rukia itu sedikit kecepatan. gak tau juga sih apa maksud icchy memang demikian. Cuma yang akan saya tunggu adalah bagaimana rukia bisa suka dengan ichigo. Saya harap mengejutkan.
Oke update yah. Dan saya harap juga kalo icchy udah ngambil kputusan buat stay di blog, icchy akan stay. You know what i mean.
Posting Komentar