Sabtu, 20 Oktober 2012

Our Broken Masks - Chapter 3


Bleach = Kubo Tite
Our Broken Masks = Searaki Icchy
Rate = (So far) M for safe
Genre = Drama, Friendship, Romance, Slice of Life, dll
Warning dengan segala macam kekurangan yang ada di dalam fic ini 
Enjoy :)


==================================================================================================================================================================

The Dare


“Katanya, kalau dari pihak Kurosaki setuju, manager Toushirou akan dipindah tugaskan ke perusahaan Kurosaki yang ada di Amerika.”

Sialan! Sialan! Demi semua yang ada di neraka tingkat 7, SIALAN! Rasanya Rukia ingin memaki siapapun yang menghalangi jalannya. Dan oh yah, semua karyawan di kantornya sepertinya memang meminta makian Rukia. Saat ini Toushirou berada di ruang bos Zaraki yang berada di lantai 5, dan ternyata bukan hanya Rukia saja yang menunggu lift butut milik kantornya yang tidak pernah Zaraki perbaiki selama hampir dua tahun—dan anehnya masih bisa berfungsi dengan baik walaupun kadang suka lemot—para pegawai lain juga sedang menunggu bersamanya. Yap, penuh sesak seperti orang yang sedang mengantri sembako.

Rukia ingin sekali murka. Apa-apaan kabar yang baru saja ia dengar dari Kiyone. Toushirou akan di pindah tugaskan ke Amerika? Toushirou akan pindah tanpa mengatakan apa-apa kepadanya?  Toushirou akan meninggalkan dirinya?

Oke, bahkan sabar pun ada batasnya! Dia harus bertemu Toushirou segera! Rukia harus membicarakan hal ini. Mereka masih berpacaran, kan? Rukia masih ada hak untuk menolak berita ini, kan? Dia tidak ingin ditinggalkan, tidak juga ingin menunggu. Dalam hal ini, sifat keras kepalanya memaksa muncul. Rukia harus merundingkan ini dengan Toushirou sekarang juga.

Sayangnya, saat pintu lift terbelah dua, Rukia terlambat masuk dan gagal bertarung melawan para karyawan lain yang mempunyai tubuh dan kaki yang lebih panjang darinya. Sialan! Bahkan dalam hal naik lift saja Rukia harus menunggu dua kali. Mau tidak mau, Rukia akhirnya memilih rute lain.


xXxXx


Sementara itu, Toushirou sudah duduk manis di ruang kerja besar bergaya inggris kuno dengan karpet permadani tebal motif macan dibawah kakinya. Bersama dengan Ise Nanao, sesuai janji yang sudah disepakati, Toushirou akan bertemu dengan pemilik Kurosaki company. Walaupun yang ia temui saat ini bukan Kurosaki Isshin, tetapi putra sulungnya bernama Kurosaki Ichigo.

IchigoIchigo… namanya tidak terasa asing di telinga Toushirou. Tadi pagi, saat berkunjung ke apartemen Rukia, Toushirou bertemu dengan seorang pria aneh yang menyebut dirinya sebagai sepupu Rukia. Pria berambut orange terang jabrik, tanpa pakaian dengan tubuh kotak-kotak berlipat enam, membelainya dengan kedipan manja dan menyatakan dirinya sebagai sepupu jauh Rukia.

Untuk sesaat, Toushirou melirik sosok Ise Nanao yang duduk tepat di sebelahnya. Nanao mempunyai tubuh yang tinggi sedang. Rambutnya biasa dijepit sederhana dan sopan dipadu dengan kacamata tipis yang selalu dia pakai. Sorot matanya tajam dan serius—terlihat dari semangat dan kenekatannya untuk tetap bertemu dengan pihak Kurosaki meskipun sudah ditolak berulang kali—Nanao juga tidak terlalu suka berbasa-basi seperti kebanyakan orang bisnis. Tubuhnya terbalutkan blazer hitam dan rok selutut ketat berwarna sama, dipadu stocking hitam yang membungkuk kakinya dengan higheels hitam pula. Entah memang selera berpakaian perempuan itu terlalu kuno atau mempunyai pikiran bahwa datang ke suatu tempat untuk tujuan bisnis sama dengan datang ke pemakaman seseorang, Nanao seperti tidak terlalu peduli selama pakaian itu terlihat formal dan rapi.

Toushirou melirik sekilas jam tangan yang mengalung indah di tangan kanannya. Waktu menunjukkan pukul 9.15 dan orang yang seharusnya bertemu dengannya belum juga muncul dari balik pintu. Apakah Toushirou yang terlalu cepat datang ataukah karena Kurosaki Ichigo punya hobi mengulur waktu? 

Dilirik lagi Nanao, wanita itu juga melakukan hal yang sama, melihat waktu.

“Apa kita tidak datang terlalu cepat, Ise-san?” tanya Toushirou akhirnya, memecah keheningan.

“Tidak. Ishida Uryuu tadi menghubungiku agar kita datang kemari secepatnya.” Nanao menjawab.
Sudah hampir setengah jam sejak panggilan dari Ise Nanao yang meminta Toushirou segera datang ke gedung Kurosaki company. Dan setengah jam pula waktu Toushirou habis terbuang.

Setelah beberapa saat Toushirou mengambang di dalam angannya, pintu ruangan pun akhirnya terbuka. Toushirou dan Nanao secara otomatis langsung berdiri menyambut pemilik ruangan tersebut. Ishida Uryuu yang pertama kali membuka pintu, diikuti oleh seorang pemuda berambut terang. Pria itu memakai kemeja berwarna hitam dengan celana berwarna sama. Dasi berwarna cokelat terang mengalung indah di antara lehernya, membuatnya masih terlihat formal sekaligus santai. Mata cokelatnya tertutupi kacamata, namun tatapannya mampu menembus siapapun yang memandangnya.
Tentu saja Toushirou tahu siapa pria itu. Dia sudah bertemu dengannya tadi pagi di dalam apartemen kekasih mungilnya. Sepupu jauh Rukia? Rasanya tidak mungkin…

“Terima kasih karena bersedia bertemu dengan kami, Kurosaki-sama,” Nanao membungkuk sopan kepada pria berambut terang itu. Toushirou pun tak lupa ikut menunduk agar kerjasama ini dapat diterima karena kesopanan yang ia perlihatkan kepada putra Kurosaki itu.

Ichigo menggaruk kepalanya. Dia benci dipanggil seformal itu oleh Nanao. “Santai saja, Ise-san.”

Sambil membetulkan kacamatanya yang turun, Nanao mulai berbicara tentang tujuannya. “Anda pasti sudah tahu dari Ishida-san tentang maksud kedatangan kami. Jadi, aku langsung bicara ke intinya saja. Bos kami, Zaraki Kenpachi, mengajak perusahaan Ayah anda, Kurosaki company, untuk bergabung dengan perusahaan Zaraki.”

Nanao berceloteh panjang lebar tentang visi dan misi perusahaan Zaraki dan hampir terlihat keinginannya untuk meyakinkan Ichigo agar menerima kerjasama ini. Ishida Uryuu sebenarnya sudah menghubungi Kurosaki Isshin, bertanya kepadanya tentang masalah ini, tapi pria paruh baya itu menyerahkan semua keputusan padanya dan Ichigo. Mau tidak mau, Uryuu harus menunggu pendapat Ichigo baru memutuskan semuanya. Ichigo hampir menguap karena pembicaraan yang semakin membuatnya bosan. Dia ingin segera keluar dari ruangan itu dan tidur. Kalau bisa kembali ke apartemen Rukia.

Ah, Rukia… perempuan mungil yang memesona.

“Bagaimana menurut Anda, Kurosaki-san?” suara Nanao membuyarkan lamunan indahnya.

Ichigo memperhatikan Hitsugaya Toushirou yang masih diam di samping Ise Nanao. Pria itu hanya duduk diam, tidak memberikan komentar kecuali diperlukan. Pria yang tidak suka berbasa-basi, pikir Ichigo. Dia menyukai hal itu.

“Jika perusahaan Anda setuju, kami akan mengirim saudara Hitsugaya Toushirou ke Amerika sesuai perjanjian.” Lagi-lagi suara Nanao menyela lamunannya.

“Amerika?” dahi Ichigo mengerut. Begitu juga dengan Toushirou. Dia tidak mendengar hal ini dari Zaraki.

“Benar, Zaraki Kenpachi yang membuat keputusan. Tentu saja, kami akan mengirim karyawan kami lebih banyak untuk—“

Ichigo memotong penjelasan Nanao dengan menoleh ke Uryuu. “Ishida, antarkan tamu kita yang cantik ini, aku ada perlu dengan tamu yang satunya.” Dari pada mendengar omongan Nanao panjang lebar, lebih baik dia berbicara empat mata dengan pria di sampingnya. Toushirou yang daritadi hanya diam, duduk manis mendengarkan, walaupun wajahnya terlihat sangat serius dan berharap agar rencana ini terlaksana.

Sesuai perintah, Ishida langsung menuntun Ise Nanao keluar ruangan. Meskipun awalnya enggan, Nanao pun membungkuk pamit lalu mengikuti langkah Ishida. Sesaat hening menyelimuti setiap nafas yang berhembus. Toushirou masih belum membuka suara, sedangkan Ichigo dengan cuek menjentikkan kedua jarinya. Sepertinya mereka berdua menunggu salah satu bicara.

5 menit… Ichigo mengetukkan jarinya ke meja. Toushirou duduk diam.

10 menit… Ichigo melihat sekeliling ruangan. Toushirou masih diam.

15 menit… Ichigo mulai tidak nyaman. Toushirou tetap diam.

20 menit… Ichigo sudah hampir gila. Toushirou hanya menggerak tangan untuk menggaruk kepala.

Toushirou tidak akan membuka mulutnya jika Ichigo tidak memancingnya. Okelah, daripada dia bisa gila karena bosan, basa-basi bukan ide yang buruk. Ketika Ichigo bermaksud buka suara, ternyata tanpa disangka-sangka, Toushiroulah yang memulai percakapan.

“Kau ini bukan saudara jauh Rukia.” Itu bukan pertanyaan, tapi pernyataan.

“Kenapa kau berkata begitu?” pancing Ichigo tertarik.

“Rukia tidak pernah punya saudara sepupu selain kakak dan kakak ipar yang kini tinggal di Hokkaido. Terlebih lagi,” Toushirou hampir mendengus geli membayangkan bagaimana usaha Rukia saat mencoba meyakinkannya tentang Ichigo. “Tingkat kebohongan Rukia setara dengan anak tingkat sekolah dasar. Dia tidak pandai berbohong.”

Tanpa sadar Ichigo menyunggingkan senyum. Dia tertarik untuk membahas ini dengan pria yang sudah pasti akan menjadi rivalnya. “Bisa saja Rukia gugup karena tidak ingin kau salah paham?”

Tidak terpengaruh hasutan Ichigo, Toushirou mengubah topik mereka kembali ke awal. “Apa kau akan setuju berkerja sama dengan Zaraki company?”

“Aku sedang memikirkannya.”

“Apa yang kau pikirkan?”

“Kenapa kau harus pindah ke Amerika jika kau bisa bekerja di sini bersamaku? Dan apa yang akan dikatakan Rukia jika dia tahu tentang hal ini?”

Dengan sangat terpaksa, Toushirou harus menatap kedua mata cokelat yang berkilat jail. Memancing kembali untuk membahas tentang Rukia. Kenapa hanya mendengar nama wanitanya diucapkan oleh pria lain membuatnya merasa tidak nyaman.

Toushirou memalingkan pandangan ke sembarang tempat, tidak ingin mengungkit apa pun yang bisa menghubungkannya dengan Rukia saat ia sedang bekerja. Rukia dan pekerjaannya adalah dua hal yang sangat berbeda.

Ichigo sadar akan tindakan yang Toushirou keluarkan. Pria itu tidak nyaman saat kekasihnya terus disinggung saat ia tidak ingin membahasnya. Perubahan kecil itu memanjakan matanya. Dia senang saat Toushirou terlihat tidak nyaman. Berbeda dengan Toushirou, Ichigo tidak akan ragu menyinggung Rukia meski ia sedang sibuk sekalipun.

“Apakah aku harus pergi ke Amerika?” tanya Toushirou mengalihkan pertanyaan. “Apakah itu salah satu syarat agar kalian setuju bekerja sama dengan perusahaan kami?”

Ichigo menghembuskan nafas mengalah karena Toushirou sangat susah untuk dipancing apalagi menyangkut kehidupan pribadinya. Well, dari ini saja Ichigo sudah bisa melihat seberapa besar pengaruh Hitsugaya Toushirou di dalam perusahaan Zaraki. Toushirou pasti anak buah kesayangan Zaraki. Dan sebenarnya merupakan suatu tindakan yang sangat bodoh karena sudah memberikan anak emas yang paling berharga ke perusahaan lain. Menyerahkan Toushirou hanya demi penggabungan perusahaan adalah suatu tindakan gegabah yang pasti akan dilakukan Zaraki Kenpachi.

Tatapan Ichigo berubah menjadi serius. Di tatapnya lekat gerak-gerik Toushirou, menilai secara rinci dan jelas. Dia tidak tertarik dengan harapan Zaraki, dia hanya tertarik dengan pria ini. Toushirou harus bekerja di bawah pengawasan Kurosaki company

“Itu hakmu untuk pergi ke Amerika atau tidak. Tapi, ketika kami setuju untuk bekerja-sama dengan kalian, itu berarti kau harus bekerja di bawah kekuasaanku. Apa kau tidak keberatan?” Ichigo memberikan pertanyaan terakhir.

Entah kenapa rasanya mustahil kalau semua pilihan itu ada di tangan Toushirou. Karena sejujurnya Toushirou tidak terbiasa memilih keputusannya sendiri jika menyangkut soal pekerjaan. Biasanya yang memutuskan sepak terjangnya adalah Zaraki selaku pemilik perusahaan. Toushirou hanya memberikan saran dan ketika disetujui ia akan melakukannya.

“Aku harus bicarakan hal itu dulu dengan bos Zaraki.”

“Aku tidak butuh pendapat bosmu, aku menyuruhmu untuk memilih sendiri keputusanmu, Hitsugaya Toushirou.” Ichigo dapat menilai bahwa Toushirou terlalu setia, bukan ke yang baik. Pria ini terlalu setia bahkan sampai setiap gerakan dan tindakannya harus ada persetujuan dari Zaraki. Dasar pria bodoh, pikir Ichigo tidak habis pikir.

Toushirou mengerut. “Keputusan ada di tangan pemimpin kami, Zaraki Kenpachi. Aku adalah pegawainya dan aku harus menanyakan tentang keputusan ini kepadanya,” katanya bersikeras.

“Sebenarnya,” Ichigo mengacak kepalanya, tidak tertarik untuk melanjutkan masalah ini lebih jauh. Toushirou ternyata keras kepala dalam hal ini. Well, berarti Ichigo tidak bisa memakai taktiknya yang biasa, dia harus bersikap tegas untuk pria berambut putih itu. “sekarang kau sudah bekerja di bawah pimpinanku, Toushirou. Dan keputusanku adalah kau akan kukirim ke Amerika untuk bertemu langsung dengan ayahku, Kurosaki Isshin, dan mempelajari tentang semua yang ada di dalam perusahaan kami mulai dari awal hingga akhir. Kurasa bosmu tidak akan keberatan dengan usulku ini?”

“Berarti kau setuju bekerja sama dengan kami?” tanya Toushirou meminta kepastian.

Bahu Ichigo terlihat lunglai, ingin cepat-cepat pergi dari ruangan dan mencari udara segar. Pria di depannya ini terlalu serius. Jauh lebih serius daripada Ishida. Berkat itu, Ichigo prihatin akan masa depan Rukia. Lagi-lagi… nama gadis itu kembali melintas di benaknya.

“Ya, aku setuju. Aku akan mengirim Ishida untuk bertemu dengan Zaraki.”

“Kau tidak ikut datang?”

“Mengirim Ishida sudah cukup meyakinkan bahwa aku setuju.” Ichigo beranjak dari tempat duduk dan mulai melangkah menghampiri pintu keluar. Dia tidak terlalu suka berbasa-basi, sudah cukup permainan yang sudah ia coba lakukan dengan Toushirou. Sepertinya sia-sia memancing Toushirou untuk membicarakan tentang Rukia.

Kalau ingin bertemu dengan Rukia, Ichigo bisa bertemu dengannya kapan saja. Bukankah itu salah satu sebabnya kenapa dia menyetujui penggabungan perusahaan ini?

Sebelum keluar, Ichigo memberikan sebuah pesan kepada Toushirou. “Kau adalah aset berharga, Hitsugaya Toushirou. Kejeniusanmu akan tumpul jika terus bekerja di bawah pengaruh Zaraki. Dan ingat, kau seharusnya lebih fokus menjaga sesuatu yang sebenarnya lebih penting dari pekerjaanmu.”
Toushirou terdiam, merenungi satu kalimat terakhir yang Ichigo ucapkan untuknya. Sesuatu yang penting baginya, dia tahu Ichigo membicarakan siapa itu sesuatu yang sebenarnya lebih penting.

Rukia.

Kira-kira bagaimana reaksi Rukia ketika ia tahu Toushirou akan berangkat menuju Amerika? Apakah Rukia bisa memahami dan mengikhlaskan Toushirou pergi? Akhir-akhir ini, kekasihnya berusaha mengerti dirinya jika itu menyangkut pekerjaan. Rukia tahu seberapa besar Toushirou mencintai pekerjaannya dan seberapa besar pria itu sangat sedang serius. Karena Rukia tahu Toushirou melakukan ini demi masa depan mereka. Masa depan di mana mereka berdua melangkah menuju gerbang pernikahan. Berbeda dengan Rukia, sebenarnya Toushirou sudah memikirkannya. Tentu saja ia ingin menikahi Rukia secepatnya, mereka sudah menjalin hubungan kurang lebih empat tahun, itu bisa dibilang sangat lama.

Apa lebih baik Toushirou menikah dengan Rukia dan mengajak wanita itu pergi ke Amerika bersamanya? Mungkin itu merupakan satu-satunya jalan bagi mereka. Tapi, dia takut Rukia akan panik ketika ia mengatakan ini. Mungkin lebih baik dia harus mencari Rukia dan membicarakan hal ini. 


xXxXx


Langkah Rukia berakhir di lantai paling atas gedung Zaraki. Dia tidak menemukan Toushirou di dalam gedung. Pria itu juga tidak menghubunginya padahal saat ini sudah lewat dari jam makan siang dan pastinya Toushirou sudah berurusan dengan pihak Kurosaki.

Rukia ingin bertemu dengan Toushirou. Dia sangat merindukan pria itu, dan sekarang jauh lebih merindukannya dari hari-hari sebelumnya.  Dipandanginya awan bulat menggantung di udara, Rukia mendesah pelan. Sinar matahari tertutup oleh gumpalan awan, meredupkan setengah dunia dan menyejukkan udara yang berhembus.

Ponsel Rukia bergetar di saku kemejanya. Dengan sigap Rukia mengangkat panggilan itu, berharap itu dari Toushirou. “Halo?” ketika Rukia tahu siapa yang menghubunginya, matanya mengerjap lega. “Bagaimana urusanmu dengan perusahaan Kurosaki, Toushirou?”

Di seberang ponsel, Toushirou berkata pelan. “Semuanya baik-baik saja.”

Rukia tahu ada sesuatu yang Toushirou sembunyikan dari dirinya. Ia sendiri pun sudah tahu kabar angin dari Kiyone akan kepergian Toushirou ke Amerika jika perusahaan Kurosaki setuju bergabung dengan Zaraki. Mungkin seharusnya Rukia segera membicarakan hal ini secepatnya dengan Toushirou. Jika ini dibiarkan akan semakin dalam mengganjal di hatinya. Mungkin seharusnya Rukia mulai lebih terbuka dan berani untuk bertanya dengan Toushirou, mungkin dia harus mengatakan tentang perasaannya yang sejujurnya kepada pria itu. Toushirou sudah menjadi kekasih Rukia dalam kurun waktu yang bisa dibilang lama, kurang-lebih 4 tahun. Setidaknya dalam kurun waktu itu mereka berdua seharusnya lebih terbuka dan saling mengeluarkan pendapat masing-masing.

Baiklah Rukia sudah memutuskan, dia harus membahas masalah ini dengan Toushirou.

“Toushirou, apa kau masih sibuk?” hati-hati Rukia bertanya. “Ada yang ingin kubicarakan denganmu.”

Hening sejenak, kemudian terdengar jawaban di seberang. “Sebenarnya aku juga ingin kita membicarakan sesuatu. Kalau bisa secepatnya…”

Suara Toushirou terdengar ragu dan itu membuat dahi Rukia berkerut. Kenapa dari intonasi suaranya seolah-olah Toushirou tidak akan pernah menemui Rukia lagi. Apa pria itu ingin berpisah dengannya?
Rasanya awan putih gendut di atas kepala Rukia berubah menjadi hitam pekat bersama ratusan petir.
Berusaha untuk tetap tegar sekaligus mengusir prasangka buruk yang masih terngiang-ngiang di kepalanya, Rukia berusaha agar suaranya tetap tenang. “Di mana kau sekarang? Aku masih ada di kantor Zaraki. Kita bisa bicara di atap.”

“Baiklah, aku akan ada di sana sepuluh menit lagi.”        

Panggilan pun terputus, meninggalkan Rukia yang masih mengangkat ponselnya di telinga. Menatap kosong lurus langit yang masih bersinar cerah. Matahari bersembunyi di balik awan, membuatnya sinarnya jadi tidak terlalu panas. Angin berhembus sejuk saat mengitari rambut Rukia pelan, membelainya agar wanita mungil itu tetap terjaga.

Pikiran Rukia masih berkumandang, berpikir merangkai kata-kata yang akan dia tanyakan kepada Toushirou dan juga masih mengira-ngira apa yang akan pria itu bicarakan dengannya.

Apakah itu tentang keberangkatannya ke Amerika? Ataukah tentang hubungan mereka yang akan berpisah? Rukia akan langsung menangis jika perkiraannya benar. Mungkin saat ini dia harus menyiapkan mentalnya untuk kemungkinan terburuk. Setidaknya saat itu benar-benar terjadi, Rukia tidak akan terlalu merasa sakit hati. 


xXxXx


Sepuluh menit ke depan, Toushirou sudah ada di lantai atas sesuai janji. Mengamati punggung kecil yang menatap kosong dirinya. Rukia berdiri mengamati hamparan langit yang menjulang dengan awan gendutnya. Tatapan begitu fokus, sampai tak menyadari bahwa kekasihnya itu sudah melangkah mendekatinya.

Toushirou masih belum bicara, tak ingin menganggu ketenangan wanita itu. Hitung-hitung ia juga sedang mempersiapkan kata-kata yang pas untuk melamar wanita itu. Bagaimana agar tidak membuat Rukia ketakutan karena lamarannya yang mendadak. Memang Toushirou belum membelikan cincin pertunangan, namun ia sudah menetapkan hati untuk meminta pinangan Rukia. Setidaknya ikatan mereka sebagai kekasih akan lebih erat jika hubungan itu melangkah ke tingkat yang lebih pasti. Pertunangan. Rukia tidak akan keberatan. Tidak. Dia pasti senang mendengar hal itu keluar dari mulut Toushirou. Pria itu akan membahagiakan Rukia seperti yang selalu ia inginkan. Mereka akan berbahagia.

“Rukia.” Toushirou menyentuh pelan pundak yang terlihat rapuh itu. Tersenyum tipis ketika melihat reaksi kaget Rukia saat berbalik menatapnya. Wanita itu tersenyum hangat saat pria itu hadir, matanya menyiratkan perasaan lega sekaligus sedih yang entah disebabkan karena apa.

“Pekerjaanmu sudah selesai?” tanya Rukia.

“Ya.” Toushirou tersenyum. Lebih baik dia bicara langsung ke tujuannya semula. “Begini, aku ingin bicara denganmu soal kesepakatan bos Zaraki dengan Kurosaki company—“

“Aku tahu.” Rukia memotongnya. Toushirou pun terkejut.

“Kau tahu?”

“Ya. Kiyone memberitahuku tadi,” jawab Rukia pelan. “Sepertinya kita harus membicarakan tentang situasi ini.”

Toushirou mengerti tentang kekhawatiran Rukia dan apa yang kekasih mungil itu pikirkan. Rukia kepikiran tentang bagaimana hubungan mereka. Mata ungu itu berkilat dengan penuh cemas, memohon agar diberikan jawaban yang memuaskan, bukan menghancurkan. Pertama-tama, Toushirou menceritakan lengkap pertemuannya hari ini dengan Rukia. Bagaimana dia dan Ise Nanao menunggu dan bertemu dengan pemimpin kedua dari perusahaan Kurosaki, Kurosaki Ichigo. Setelah itu, Toushirou juga ingin mendengar penjelasan dari Rukia kenapa pria yang ternyata akan menjadi pimpinannya di masa mendatang bisa berada di dalam apartemen Rukia tadi pagi tanpa pakaian yang membungkus badannya.

Awalnya, Rukia kaget, lalu detik kemudian, ia menghela nafas. Sepertinya gadis itu bisa menebak bahwa kebohongan tentang sepupu jauh ternyata memang tidak berpengaruh terhadap Toushirou. Namun yang mengejutkan Rukia adalah kenyataan bahwa pria-mesum-yang-seenaknya-masuk-ke-dalam-apartemennya ternyata adalah putra dari seorang pengusaha terkenal di seluruh dunia dan juga merupakan pria yang paling diincar oleh hampir seluruh wanita di Jepang.

Seharusnya Rukia sudah bisa menebak sebelumnya, wajah Ichigo memang seperti yang selalu Rukia dengar dari teman-teman sekantornya. Kurosaki Ichigo memiliki rambut yang tak biasa, berwarna orange seperti matahari. Mempunyai mata cokelat paling terang di antara mata lainnya. Tubuh atletis yang terpahat sempurna lengkap dengan perut kotak-kotaknya. Dan yang paling menggiurkan dari semua itu adalah satu fakta bahwa Ichigo selalu memperlakukan wanita layaknya seorang ratu.

“Benarkah Kurosaki Ichigo adalah orang yang sama dengan yang ada di apartemenku tadi, Toushirou?” tanya Rukia masih tidak yakin. Rasanya beda sekali dengan Rukia lihat tadi pagi.

Toushirou mengangguk pelan. “Dan dia jugalah yang memberiku pilihan, pergi ke Amerika atau tidak. Dan aku memutuskan untuk pergi.”

Rukia melihat gerak tangan Toushirou yang tak nyaman mengatakan ini kepadanya. Suasana yang tadi sejuk itu perlahan berubah menjadi panas bersama awan yang perlahan hilang memunculkan mentari.

“Berapa lama kau akan pergi?”

“Satu-dua bulan.”

Rukia tidak mau ditinggal selama itu. Tidak. Satu minggu pun terasa lama baginya. “Apa tidak ada jalan lain selagi pergi ke Amerika, Toushirou?” tanya Rukia lirih, ia tidak ingin berpisah. “Bagaimana denganku? Bagaimana dengan hubungan kita?” suaranya bergetar.

Toushirou menggenggam tangan Rukia. Merasakan getaran yang kekasihnya keluarkan. Rukia gemetar, ia tahu, Rukia tidak ingin berpisah dengannya. Well, Toushirou juga sebenarnya tidak ingin meninggalkan Rukia. Dieluskan pelan telapak mungil itu, merasakan kulit halus yang Toushirou pegang. Dia mengangkat tangan Rukia menuju bibirnya, dikecupnya sayang.

“Maafkan aku karena sudah membuat keputusan seenaknya tanpa berunding dulu denganmu. Dengan persetujuan ini aku ingin belajar banyak dari perjalananku ke sana, Rukia. Aku akan kembali menjadi orang besar dan bekerja bersamamu, dan kali ini aku tidak akan ragu mengungkapkan tentang hubungan kita. Aku tidak ingin merahasiakan lebih lama lagi hubunganku denganmu, aku ingin dunia tahu bagaimana perasaanku kepadamu.”

Toushirou menggenggam erat tangan Rukia. Meremas pelan sekaligus menghantarkan rasa cinta, meyakinkan Rukia bahwa Toushirou tidak main-main dengan ucapannya.

Rukia tertegun. Jarang sekali Toushirou memutuskan segala sesuatu dengan begitu impulsive. Toushirou tipe pria yang selalu berpikir rasional, meskipun hal itu adalah privasi miliknya. Pria itu pasti akan berpikir dua kali untuk konsekuensi atas perbuatannya dengan rinci. Tapi sekarang, Rukia melihat Toushirou seperti orang yang berbeda. Mata hijau yang selalu memancarkan sedingin es itu sekarang agak lebih mencair.

Rukia tersenyum hangat, menghargai usaha Toushirou yang bersedia memikirkan tentang hubungan mereka. Terkutuklah dia jika tidak bersedia menunggu pria itu. Hanya sebulan saja Toushirou pergi ke Amerika, bukan waktu yang lama untuk menunggu, kan?

Rukia menghembuskan nafas mengalah. “Baiklah,” ditatapnya lekat wajah tampan kekasihnya. Rukia membelainya lembut. “Aku bersedia menunggumu. Tapi kau harus berjanji kembalilah secepatnya dan bawa sesuatu yang berharga dari perjalananmu,” ucapnya tulus.

Toushirou tersenyum. Dalam hatinya ia bersyukur mempunyai kekasih yang sangat pengertian. Rukia mengerti dirinya—dia berusaha memahami—bersedia menunggu untuknya. Toushirou tidak akan menyia-nyiakan kepercayaan wanita itu.

Dikecupnya tangan Rukia dengan penuh cinta. “Terima kasih, Rukia.” Toushirou melingkarkan sesuatu di jari manis wanita itu. 

Betapa kagetnya Rukia saat ia melihat sebuah emas putih melingkar dengan cantik di jari manisnya. Sebuah emas putih dengan sebuah batu berlian kecil ditengahnya. Sebuah cincin yang simple namun elegan. Membuat Rukia menatap heran Toushirou, wajahnya bertanya apa maksud cincin ini.

Pria itu langsung mengecup lembut bibir Rukia. Melumat pelan setiap sudut bibir Rukia, mencicipi dengan lembut dan perlahan setiap rasa yang ada dalam diri Rukia. Tangannya mendekap hangat tubuh kecil itu, memeluknya erat agar bisa mengisi kerinduannya nanti saat Rukia tidak ada bersamanya.

Rukia merona saat Toushirou melepaskan ciumannya. Kaget karena tindakan tiba-tiba pria itu—hal yang jarang Toushirou lakukan.

“Cincin itu akan selalu membuatmu ingat bahwa kau milikku, Kuchiki Rukia,” kata Toushirou. “Saat aku kembali, aku akan menggantinya dengan diriku utuh dengan menjadikanmu istriku.”

Wajah Rukia semakin memerah. Toushirou baru saja melamarnya? Benarkah pria itu meminta dirinya untuk menikahinya?

“Apa kau melamarku?” suaranya bergetar.

Toushirou berusaha menahan tawanya. Dia tidak akan mengejek wanita itu. “Kau tidak mau?”

“Tentu saja aku mau, aku hanya tidak menyangka kau akan melamarku secepat ini.”

Pria itu tertawa, rambut tertawa arah angin menari di antara mereka. Seakan ikut merasakan kebahagiaan Rukia. Toushirou mengacak pelan rambut hitam kekasihnya, senyumnya terukir.

“Aku harus segera menghadap bos Zaraki. Aku melaporkan tentang kejadian hari ini. Dia pasti akan senang dengan berita persetujuan kerja-sana Kurosaki company.”

Toushirou berjalan masuk, tak lupa menggandeng Rukia bersamanya. Rukia tidak bisa menjaga senyumnya yang terus muncul karena sebuah cincin dan lamaran indah dari Toushirou. Harinya yang menyebalkan hari ini rasanya tergantikan dengan sebuah janji indah yang akan dia hadapi untuk satu bulan ke depan. Dia akan bahagia menjadi istri Hitsugaya Toushirou, membina keluarga dengannya, melahirkan anak-anak yang mereka hasilkan bersama, dan mendampingi Toushirou hinggat akhir hayatnya. Oh, rasanya Rukia tidak sabar menantikan hal itu terjadi.


xXxXx


Sore pun tiba, sudah saatnya Rukia mengakhiri masa kerjanya hari ini. Senandung pelan mengiringi kegiatan Rukia membersihkan meja kerjanya. Terlalu bahagia karena saat ini sebuah cincin berlian melingkar sempurna di jari manisnya. Toushirou akan pergi ke Amerika besok, namun Rukia tidak terlalu bersedih karenanya.

Untuk apa? Setelah pria itu kembali ke Jepang, dia akan segera menjadi Mrs. Hitsugaya Toushirou. Itu sebanding dengan penantiannya selama sebulan penuh.

Kiyone yang melihat wajah cerita pun tersenyum heran. “Tadi pagi kau cemberut, sekarang kau malah senyum-senyum. Sepertinya ada sesuatu yang membuatmu senang, Rukia.”

Rukia menjawab dengan cengiran kudanya. “Untuk satu bulan ke depan mungkin aku akan menjadi istri seseorang,” bisiknya karena tidak tahan ingin menceritakannya kepada seseorang.

Berkat Toushirou, Rukia pun jadi berubah kepribadiannya. Biasanya dia sangat tertutup dan enggan untuk menceritakan privasinya kepada siapapun. Berhubung Rukia hanya mempunyai beberapa teman, dia tidak pernah bercerita atau curhat tentang masalah percintaannya. Tapi hari ini—khusus hari ini—dia akan menoleransi sikapnya—hanya—untuk Kiyone karena perempuan mungil berambut pendek itu selalu membantu pekerjaan Rukia, baik diminta maupun secara sukarela.

Tentu saja reaksi Kiyone sama kaget dan wanita itu menganga tidak percaya. “Memangnya kau punya calon? Kau tidak pernah bercerita tentang kekasihmu!” serunya Kiyone pura-pura tidak terima, namun bibirnya tersenyum. “Sekarang ceritakan padaku siapa pria beruntung itu!” lanjutnya bersemangat.

Rukia mencuri-curi pandang ke arah Toushirou saat pria itu terlihat serius bicara dengan Kira Izuru. Wanita itu hanya terkikik pelan. “Aku akan merahasiakannya sampai bulan depan dan kau akan tahu siapa dia, Kiyone.”

Kiyone cemberut karena rasa penasarannya tidak terobati. “Apa dia salah satu pegawai di sini?” tanyanya semakin penasaran.

Rukia masih terkikik. Membiarkan pertanyaan Kiyone mengambang. “Kau akan tahu nanti.”

Kiyone akhirnya menyerah karena Rukia tetap berkeras tidak akan memberitahunya sampai hari itu tiba. Akhirnya dia mengganti topik hangat yang baru saja dibicarakan tadi sore saat Rukia dan Toushirou berada di atap.

“Kudengar pihak Kurosaki setuju dengan tawaran bos Zaraki.”

“Oh yah?” Rukia kaget pura-pura tak tahu.

“Tadi manager dari pihak Kurosaki datang dan bertemu dengan bos kita. Beberapa menit setelah perbincangan mereka, bos Zaraki langsung memberikan pengumuman bahwa aka nada beberapa karyawan dari sini akan dipindah-tugaskan di kantor Kurosaki.”

Berita yang sangat tidak biasa di telinga Rukia. Tapi kalau dipikir-pikir tidak heran jika semuanya terjadi dengan tiba-tiba. Zaraki Kenpachi memang sudah lama menginginkan rencananya berhasil,dan sudah tentu dia akan melakukan apa saja untuk memuaskan perusahaan Kurosaki. Rukia menyentuh dagunya berpikir, beberapa karyawan akan dipindah-tugaskan. Apakah namanya juga salah satu karyawan yang pindah bersama dengan yang lain?

Kalau bisa dia tidak ingin pergi dari sini. Meskipun Zaraki adalah pemimpin yang seenaknya dan suka tidak konsisten dengan tugasnya, namun pria itu termasuk pemimpin yang mempunyai toleransi tinggi dan tidak menuntut karyawannya terlalu banyak selama kau mengerjakan tugasmu, tidak peduli bagaimana caranya.

“Apa bos Zaraki sudah mengumumkan siapa saja yang akan pindah?” tanya Rukia.

“Katanya ada permintaan dari pihak Kurosaki, dan seperti sifat pemimpin kita, bos Zaraki langsung setuju dan langsung mengumumkan saat itu juga.”

“Siapa saja yang pergi?” tanya Rukia penasaran.

“Hanya dua orang, sih. Aku dan kau, Rukia.”

“Aku?”

Dahi Rukia kembali mengerut. Wajahnya yang bahagia langsung berubah. Memangnya sejak kapan dia menjadi salah satu karyawan teladan yang bisa diperhitungkan untuk bekerja di perusahaan yang terkenal itu? 


Chapter 3 - end 

P.S : Kritik dan Saran sangat diterima.... Terima kasih :D 






Sabtu, 13 Oktober 2012

Our Broken Masks - Chapter 2


Bleach = Kubo Tite
Our Broken Masks = Searaki Icchy
Rate = (So far) M for safe
Genre = Drama, Friendship, Romance, Slice of Life, dll
Warning dengan segala macam kekurangan yang ada di dalam fic ini 
Enjoy :)


================================================================================================================================================

The Meeting


Untuk pertama kalinya bagi seorang Kuchiki Rukia di hadapkan dengan situasi aneh yang tidak pernah dia sangka. Toushirou berada di depan pintu, di sambut dengan sangat baik oleh seorang pria tampan asing maniak celana dalam bernama Ichigo tanpa sehelai pakaian yang menutupi tubuh bidangnya. Dan pria berambut jabrik putih kekasihnya ini hanya bisa diam menatap Ichigo.

“Siapa kau?” pertanyaan Toushirou sepertinya tidak akan berubah sampai Ichigo menjawabnya.

“Kau sendiri siapa?” Ichigo pun sama ngototnya seperti pria menatap angkuh ke arahnya. Karena Toushirou tidak bersedia menjawab dirinya akhirnya dia pun menoleh dan bertanya kepada Rukia. “Rukia, siapa pria ini?”

Rukia tidak bergerak. Di dalam kepalanya sudah membayangkan berbagai macam reaksi yang Toushirou keluarkan dan memberikan efek pada hubungan mereka. Matanya memicing tajam ke arah Ichigo. Seenaknya saja bertanya seakan-akan dialah pemilik ruangan ini.

Tenang, bersikaplah tenang. Jangan panik. Rukia memejamkan mata, menghembuskan nafas sejenak, lalu berjalan menghampiri Toushirou sambil tersenyum menyapanya.

“Hei, Toushirou. Kenapa kau datang sepagi ini?” tanya Rukia—berusaha—bersikap biasa.

“Rukia, siapa pria ini?” tanya Toushirou mengalihkan perhatian untuk wanitanya.

“Ngg, dia ini—“ suara Rukia terhenti karena terpotong oleh kata-kata Ichigo. “Jadi kau pacarnya Rukia, yah? Kyaaaaaa~ ternyata seperti yang kubayangkan Rukia, dia pria yang sangat tampan!”

Rukia bengong. Ichigo mendadak berubah sikap yang sanggup menghancurkan image tampannya. Pria berambut orange ini tanpa malu-malu membelai mesra pipi Toushirou yang membatu karena tingkahnya yang berubah drastis menjadi seseorang yang melambai. Apalagi sikapnya yang terang-terangan membelai setiap lekukan wajah Toushirou sampai akhirnya pemuda tanpa ekspresi itu risih.

“Hentikan tanganmu,” Toushirou menepis tangan Ichigo dingin. “Siapa kau?” tanyanya sekali lagi.

“Ah, maaf…” setelah mengembalikan tangannya ke kantung celananya, Ichigo menyengir lebar ala kuda, “kenalkan, aku sepupunya Rukia, Ichigo, Shirou-chan~”

Rukia dan Toushirou sama-sama ber-sweatdrops ria. Apa-apaan kelakuan pria aneh ini? Apa yang sedang dia lakukan dengan berpura-pura menjadi sepupu Rukia? Yang lebih penting, kenapa kelakuannya ini berubah seratus delapan puluh derajat?

Mata tosca Toushirou menyipit heran. “Setahuku, Rukia tidak punya saudara sepupu. Apalagi saudara laki-laki bertelanjang dada,” jelasnya datar.

Rukia mati kutu. Harus lakukan sesuatu! Otaknya berpikir dua kali lipat, lebih baik berterus terang kepada kekasihnya sebelum pria itu berpikiran yang tidak-tidak.

“Toushirou, sebenarnya—“ lagi-lagi, kalimat Rukia terhenti karena di ambil alih oleh Ichigo.

“Sebenarnya, aku adalah saudara jauh Rukia. Aku adalah anak dari kakaknya, kakeknya, pamannya, sepupunya, keponakannya, tantenya, adiknya, saudaranya, bibinya, neneknya, pamannya—pokoknya saudara nun jauuuhh di sana dari keluarga Kuchiki~” seru Ichigo nyengir kuda.

Dan sekali lagi, Rukia membatu. Kalau begitu, Ichigo adalah saudara jauh dari yang terjauh, paling jauh, sangat jauh, dan begitu jauh sepupunya?

Toushirou tidak menampakkan ekspresi—bingung juga harus bereaksi seperti apa—pria tampan berambut orange di depannya ini terlihat sangat bersemangat untuk meyakinkannya bahwa dia adalah sepupu dari Rukia. Sambil mendesah, yang bisa dia lakukan sekarang adalah percaya dengan apa yang ia dengar. Lagipula, setelah di teliti, Rukia memang terlihat gugup dan hanya bisa diam saat pria bernama Ichigo itu yang terus berusaha menjelaskan kepadanya.

“Sudahlah,” kata Toushirou menyerah, “intinya, kau ini saudaranya Rukia, kan? Senang bertemu denganmu,” sambungnya berusaha ramah. 

Tidak ingin situasi aneh seperti ini terus berlangsung, dengan cepat Rukia langsung maju mengalihkan perhatian Toushirou. “Tumben sekali kau datang pagi-pagi begini, Toushirou.”

Dan usaha Rukia berhasil, Toushirou kembali menatapnya—masih dengan datar—dan membalas, “Aku ingin mengajakmu sarapan pagi, tapi sepertinya kau kedatangan tamu,” ucapnya sambil kembali melirik ke arah Ichigo yang masih tidak di mengerti sikapnya yang terus senyum-senyum tidak jelas melihat mereka berdua.

Rukia langsung menoleh mengikuti arah pandang Toushirou, wajahnya memancar kegusaran sekaligus raut ekspresi yang seolah-olah berkata, “Cepat pakai bajumu dan keluar dari rumahku sekarang juga, pria mesum!”

Di tatap seperti itu, Ichigo kembali memperlihatkan gigi putihnya. Seakan-akan menjawab telepati yang Rukia berikan. “Saat ini aku adalah sepupumu, tenang saja~”

Wanita itu hanya bisa mengerutkan keningnya, kesal. Kalau si maniak celana dalam ini tidak mau keluar, dia yang akan keluar mengajak Toushirou!

“Bagaimana kalau kita ke kedai kopi di bawah, Toushirou?” ajak Rukia.

“Baiklah,” Toushirou mengangguk. “Kau tidak ganti baju dulu?”

Rukia terdiam sejenak, wajahnya mengamati tubuhnya, sadar bahwa ia masih mengenakan pakaian tidur. Terlalu panik dengan apa yang terjadi membuatnya lupa bahwa di hadapan Toushirou ia terlihat jelek! Akhirnya, dengan gugup—berusaha menyembunyikan wajahnya yang masih setengah mengantuk—Rukia langsung berhambus menuju kamarnya. “Tunggu aku 5 menit!”

Dan brak! Terdengar bunyi pintu yang di dorong keras. Sekali lagi meninggalkan Toushiro dan Ichigo dalam satu ruangan. Ichigo hanya menatap heran pria berambut putih yang masih tetap berdiri di ambang pintu. 

“Kau ini pacarnya Rukia, kan? Kenapa kau masih tetap di ambang pintu seperti tukang delivery saja,” timpal Ichigo tidak tahu malu.

“Rukia belum mengizinkanku masuk,” jawab Toushirou santai.

“Kalian pacaran sudah berapa lama, sih?” tanya Ichigo tidak habis pikir. Saat ini, dia betul-betul meresapi perannya sebagai sepupu Rukia. “Kenapa sikapmu seperti tamu, bukan pacar.”

Di sindir begitu—apalagi sama saudara sepupu kekasihnya sendiri—membuat Toushirou langsung beranjak masuk. Tanpa permisi ia langsung menghampiri sofa putih empuk Rukia dan duduk di atasnya. Tanpa permisi, tanpa meminta izin, ia langsung melakukan hal yang sebenarnya ingin sekali ia lakukan dari dulu: bersikap selayaknya pasangan normal.

Masih berperan menjadi sepupu Rukia, Ichigo ikut duduk di samping Toushirou. “Jadi, kalian bertemu di mana? SMA? Kuliah?” tanyanya berpura-pura—yah, hitung-hitung ia mendengar sebuah cerita.

“Di kenali oleh teman, saat itu Rukia sedang menghadapi ujian kelulusan SMA,” jawab Toushirou.

“Sudah berapa lama kau pacaran dengan Rukia?”

“Kurang lebih 4 tahun.”

“Ohhh,” Ichigo angguk-angguk. “Berapa umurmu?”

“27. Kenapa kau tanya umurku?” tanya Toushirou heran.

“Kukira kau seumuran dengan Rukia,” jawab Ichigo berusaha menutupi ketidak-tahuannya tentang umur sebenarnya gadis mungil yang saat ini mungkin ingin sekali menghajarnya karena sudah bertindak seenaknya. Saat melihat Rukia, Ichigo yakin, umur wanita itu jauh di bawahnya. Mungkin beda sekitar 5 atau lebih. Wanita mungil yang sangat menggemaskan.

Terdengar suara pintu di buka, Rukia pun muncul setelah mengganti pakaiannya dengan pakaian yang layak. Ia memakai celana bahan berwarna hitam dipadu dengan sebuah blazer berwarna sama. Saat ini, wanita itu terlihat seperti seorang wanita karier yang mempesona. Rambut hitamnya sudah tersisir rapi dan sudah terikat sempurna. Wajahnya sudah terpoles oleh sedikit bedak dan riasan simple sesuai ciri khasnya. Sebuah tas jinjing yang selalu ia pakai untuk kerja sudah melingkar di tangan kanannya. Dengan ini, Rukia siap untuk berangkat kerja.

“Maaf sudah membuatmu menunggu, Toushirou.” 

Suara Rukia membuat kedua pria yang tengah berbincang pun menoleh ke arahnya. Anehnya, hanya melihat dirinya rapi sanggup membuat kedua pria itu tanpa sadar berdiri dari tempatnya. Kedua mata Toushirou terpaku melihat betapa anggunnya Rukia—kekasih mungilnya.

“Wow~” tatapan Toushirou teralihkan oleh suara siulan dari Ichigo. Kening Rukia berkerut, kenapa pria asing ini masih berada di rumahnya dan masih belum memakai baju?

Toushirou langsung menghampiri Rukia, tersenyum penuh arti. Tangannya membelai pelan rambut hitam yang terlihat berkilau terkena sinar lampu putih. Sisa wangi shampoo masih membekas di setiap helai rambutnya.

“Kita pergi sekarang?” bisik Toushirou lembut.

Rukia mengangguk singkat. Sebelum itu, dia harus melakukan sesuatu terhadap pria asing yang masih berpura-pura sebagai sepupu jauhnya. “Bisakah kau tunggu aku di bawah, Toushirou? Aku harus berpamitan dengan kakak sepupuku dulu,” pintanya berdusta. Setidaknya Rukia harus memastikan pria tampan berambut jingga ini keluar dari rumahnya sekarang juga.

Toushirou hanya mengangguk pelan dan keluar tanpa berpaling lagi. Akhirnya, Rukia boleh bernafas lega. Setidaknya untuk saat ini. Untung pria itu tidak mencurigainya. Sekarang, ia harus melakukan sesuatu.

“Toushirou adalah pria yang sangat tampan. Kau memang pandang memilih lelaki, Rukia,” ujar Ichigo sambil meraih baju kemeja putih yang ia taruh di samping kursi.

Rukia mendesah berat lalu berpaling menatapnya. “Kapan kau keluar dari rumahku, Ichigo?”

“Kau pergi aku juga pergi,” kata Ichigo santai sembari memakai kembali kemejanya. Tangannya mulai mengancing setiap kancing yang belum tersambung. Setelah selesai, ia melirik ke arah kulkas putih yang bisa menapakkan bayangannya sendiri, memastikan dirinya sudah rapi.

By the way,” Rukia harus mengucapkan sesuatu kepada pria itu, “terima kasih karena sudah berpura-pura jadi sepupuku di depan Toushirou. Aku hanya tidak ingin dia salah paham dengan apa yang terjadi,” katanya menjelaskan.

Seulas senyuman tipis tersungging di bibir Ichigo. Rukia terlihat begitu manis saat mengucapkan kata-kata itu. Ia sendiri tidak tahu kenapa selalu berpikiran begitu terus untuk wanita mungil di depannya ini. Wanita asing yang mampu menarik perhatiannya secara tidak wajar. Setengah dari hatinya sedikit menyesali kenapa Rukia sudah ada yang punya, namun setengah dari hatinya malah memunculkan sebuah ide nakal yang membuatnya berdebar.

Pria itu mendengus pelan, di gelengkan kepalanya, membuang semua pikiran aneh yang tiba-tiba merayap menembus otaknya. Dia tidak akan melakukan apa-apa untuk wanita mungil ini. Setidaknya masih belum untuk saat ini.

“Sama-sama, menyenangkan juga bersandiwara seperti tadi,” balasnya tertawa singkat. 

“Masih seputar penyamaran tadi,” Rukia berpikir sejenak, “kenapa kau harus berperan jadi sepupuku yang melambai? Apa tidak ada cara yang lebih normal lagi?” tanyanya tidak habis pikir.

Ichigo terkekeh. “Kalau tidak begitu, nanti yang ada pacarmu akan curiga. Lagipula, aku senang melihat reaksinya tadi, sangat menggemaskan~” serunya seakan-akan Toushirou adalah boneka teddy bear yang sangat lucu.

“Jadi, kau adalah maniak celana dalam sekaligus pria tidak normal?” tunding Rukia.

Mendengar penuturan itu, Ichigo tertawa. Akhirnya—dengan sedikit penyesalan—ia melangkah menuju tempat Rukia berdiri dan melewatinya. Dia harus segera pergi ke kantor sebelum sahabatnya a.k.a Ishida Uryuu kembali menerornya seperti kemarin malam. Sebelum pergi, Ichigo kembali berpaling untuk menatap wajah mungil Rukia. Ambernya menatap lekat pesona violet yang berpendar cerah dari kedua bola mata wanita itu, pandangannya lalu turun menuju sebuah bibir tipis yang kemarin berhasil ia curi ciumannya, sebuah ciuman yang memikat, yang ingin ia rasakan sekali lagi.

Perlahan, jemarinya ingin menangkup lagi pipi Rukia yang lembut. Ichigo ingin menciumnya, namun rencananya tertunda karena Rukia merasakan getaran muncul dari tas jinjing yang ia bawa. Dengan cepat Rukia mengambil ponsel flipnya dan mengangkatnya.

“Aku akan turun sebentar lagi, Tou—“ kata-kata Rukia terhenti. Ichigo tahu, pasti Toushirou yang menelponnya. Matanya terus mengamati punggung Rukia yang mejauhkan diri agar lebih fokus ke orang yang sedang menghubunginya. Kepalanya mengangguk pelan, mungkin karena paham dengan apa yang Toushirou katakan di telepon, Rukia pun kembali berbicara. “Tidak apa-apa, tidak usah minta maaf begitu. Apa boleh buat, bos Zaraki yang memintamu untuk cepat datang, aku tidak mungkin menjadi alasanmu untuk membantahnya,” jelas Rukia berusaha bercanda. “Jangan sampai lupa sarapan, yah? Hati-hati.” Rukia kembali melipat ponselnya, dan menaruhnya di tas. Dari balik punggungnya, Ichigo tahu wanita itu tengah mendesah berat. Punggungnya terlihat lemas.

“Ada apa?” tanya Ichigo, penasaran. “Kenapa Toushirou?”

“Dia harus segera ke kantor karena bos kami membutuhkannya, apa boleh buat,” jawab Rukia sambil mengendikkan bahunya. Ia kembali mendesah untuk yang kedua kalinya.

“Kau kecewa?”

“Tidak juga, itu sudah tuntutan pekerjaan. Bagiku, pekerjaannya lebih penting daripada perasaan,” ujar Rukia berbalik melewati kembali Ichigo yang berusaha menatapnya tajam, seakan menembus tubuhnya. Dia tidak akan memperlihatkan rasa sedih atau kecewa apalagi di depan orang asing.

Ichigo hanya mendengus—lebih tepatnya mengejek. “Kau kecewa. Sebenarnya kau ingin marah tapi kau tidak bisa,” tebak Ichigo langsung.

Gerakan Rukia terhenti, kembali menoleh dengan kening yang mengerut. “Oh, yah? Kenapa bisa begitu?” tanyanya menantang.

“Aku tidak tahu. Aku hanya bisa menilai kau tidak bahagia dengan keadaanmu sekarang,” jawab Ichigo apa adanya. Memang dasar kebiasaannya yang selalu berbicara seenaknya dan apa adanya ini kadang suka datang di saat yang tidak tepat. Namun, hatinya senang saat melihat reaksi Rukia yang tidak terima dengan pendapatnya.

“Aku bahagia atau tidak, itu bukan urusanmu,” ujar Rukia geram. Tidak ingin melanjutkan perbincangan yang bisa membuat moodnya buruk, ia memutuskan untuk cepat pergi dari hadapan pria itu. Tidak peduli Ichigo masih ada di dalam atau tidak.

Mendengar jawaban Rukia yang penuh emosi itu, Ichigo malah semakin ingin menggodanya lebih jauh. “So, apa kau bahagia dengan Toushirou, Rukia? Apa selama 4 tahun kau tetap menanggung semuanya seperti ini? Di-nomor-duakan setelah pekerjaan?”

Dengan cepat Rukia berbalik geram, mukanya mengerut begitu dalam, memperlihatkan dengan jelas bahwa ia tersinggung dengan ucapan Ichigo. Sebenarnya ia sangat ingin membalas ucapan yang terang-terangan itu, tetapi suaranya tertahan di kerongkongannya. Tak ada kata-kata yang bisa Rukia balas untuk pria berambut orange itu. Pendapat yang menyebalkan sekaligus menyakitkan, yang ironisnya datang dari seorang pria asing yang baru bertemu beberapa jam dengannya.

Sebenarnya, jauh di dalam hati Rukia, ia setuju dengan ucapan Ichigo. Namun, harga dirinya tidak bisa menerima di nilai dengan seenaknya oleh pria itu. Memang siapa dia? Apa haknya untuk mengurusi hubungan Rukia dengan Toushirou?

Ichigo menyeringai puas, melihat Rukia kesal karena tak mampu membalas kata-katanya membuatnya semakin ingin terus mengomentari wanita itu. “Kau tidak jujur kepada dirimu sendiri, Rukia. Kau akan sakit kalau begitu terus. Sekali-kali, lepaskanlah rantai yang membelenggu kakimu. Hancurkanlah topeng yang menutupi siapa dirimu yang sesungguhnya.” Ichigo tidak membiarkan Rukia membalas ucapannya. Pria itu langsung melengos keluar, membiarkan wanita mungil itu memikirkan kata-katanya. Sebelum itu, Ichigo menyelesaikan satu kalimat terakhir. “Intinya: just be yourself.”

Tanpa sadar, Rukia berjalan untuk mengamati punggung bidang yang semakin menjauh itu. Punggung Ichigo yang tertutupi balutan kemeja putih, dan juga rambut jingganya jika di lihat dari belakang. Pria itu terlihat memesona, sama sekali tidak menapakkan seorang maniak celana dalam atau melambai.

Untuk yang kesekian kalinya, Rukia mendesah berat. Ia harus berusaha mengontrol perasaannya sendiri daripada nanti saat di kantor wanita itu akan berubah menjadi wanita yang sangat menyebalkan. Melepaskan topeng, bagi Rukia itu bukanlah hal yang mudah.


xXxXx


Zaraki company, keadaannya masih sama seperti terakhir kali Toushirou tinggalkan tempat itu. Tetap padat akan karyawan yang berlalu-lalang, tumpukan dokumen yang masih belum di kerjakan masih setia bertengger rapi di setiap meja, termasuk dokumen milik pria itu sendiri. Mungkin bagi setiap orang yang bekerja di sini, kantor ini sudah menjadi neraka setiap harinya. Selalu di penuhi dengan segala macam pekerjaan, dan lagi harus sabar menghadapi pemimpin yang selalu bertindak seenaknya. Namun herannya, mereka sama sekali tidak mengeluh dengan pekerjaan mereka. Mereka tetap setia mengerjakannya sampai selesai. Mungkinkah itu yang di namakan loyalitas terhadap pekerjaan?

Seperti halnya Toushirou, hari masih pagi, namun ia harus menghadap direktur secepatnya. Sepertinya Zaraki Kenpachi membutuhkan Toushirou karena ada sebuah project untuk perusahaan mereka.

“Apa yang bisa kubantu, bos?” tanya Toushirou langsung. Pria ini memang terkenal tidak suka berbasa-basi, meski pun dengan direkturnya sendiri. Mungkin karena itulah Zaraki Kenpachi menyukainya.

“Sebenarnya aku ingin berbasa-basi denganmu, cebol, tapi apa boleh buat, itu bukan gayamu,” seru Zaraki Kenpachi yang seenaknya memanggil Toushirou dengan sebutan cebol. Hello? Toushirou tidak sependek Rukia—setidaknya khusus di fic ini—ia hanya beda beberapa inci dari Ichigo. Tapi memang, bos di depannya ini memang dua kali lipat lebih tinggi darinya, wajar saja jika lelaki tua itu menyebut Toushirou cebol. “Akhirnya aku bisa bertemu dengan bos Kurosaki yang terkenal sok sibuk dan sangat susah untuk ditemui itu. Ise Nanao sudah mengabariku dia akan bertemu dengannya saat jam makam siang. Aku ingin kau yang menemuinya dan meyakinkan untuk bekerja sama dengan perusahaan kita,” lanjut sang bos menjelaskan tujuannya.

Ise Nanao, seseorang karyawan yang bisa di katakan sebagai perantara yang menyatukan satu perusahaan dengan perusahaan lain ini adalah salah satu kenalan dekat Zaraki Kenpachi. Berkat Nanao-lah, Zaraki Company yang dulu hampir mengalami kebangkrutan terselamatkan berkat sedikit bantuan dari sedikit saham karena saat itu Kurosaki Isshin, mantan direktur sekaligus pendiri Kurosaki company bersedia membeli beberapa persen meski pun ia tahu perusahaan itu tengah mengalami penurunan dahsyat. Berkat itu, akhirnya Zaraki mampu bertahan apalagi sejak kehadiran Toushirou sebagai bawahannya.

Kali ini, ia tidak ragu untuk mengajak kerja sama perusahaan besar itu. Zaraki yakin ia akan mendapatkan keuntungan yang lebih banyak jika perusahaan Kurosaki bersedia join dengan usahanya. Tidak peduli apakah nanti ia tidak menjadi bos lagi atau perusahaannya di ambil alih oleh orang lain, ia akan mendapatkan keuntungan banyak dari semua ini.

Toushirou mendengus pelan, sepertinya percuma kalau ia menentang keputusan bosnya meski pun sebenarnya ia sangat ingin memberikan saran bahwa semuanya terjadi begitu cepat. Belum tentu dari pihak Kurosaki setuju dengan keputusan Zaraki. Mereka bukan orang bodoh yang langsung percaya dan setuju dengan rencana kerja sama ini.

Saat ini, yang bisa ia lakukan hanyalah menjalankan perintah yang Zaraki berikan untuknya.


xXxXx


Ichigo telah tiba di depan kantor tempatnya bekerja. Belum juga langkahnya memasuki pintu masuk yang berputar, ia sudah di cegat oleh seorang pria berkacamata yang kemarin menerornya. Ishida Uryuu, sambil melipat dada dan menatap geram Ichigo, menunggu pria di depannya untuk bicara.

“Yo, Ishida~” sapa Ichigo cuek. Tidak peduli Ishida yang melotot ganas kepadanya. “Kenapa kau masih melotot kepadaku? Aku kan sudah datang,” sambungnya manja.

“Hentikan kebiasaan jelekmu itu!” seru Ishida jijik. Lalu mengikuti jejak Ichigo yang melintas masuk, menuju loby, dan dengan bosan harus pasang senyuman untuk orang-orang yang membungkuk hormat dan menyapanya. Gerakan mereka terhenti menunggu sebuah lift untuk menuju lantai tempat kantor Ichigo berada.

“Ise-san masih mencarimu?” tanya Ichigo memecahkan keheningan.

“Kau akan bertemu dengannya saat jam makan siang, seperti yang kau katakan kemarin malam.”

Ichigo mendengus, lebih menyerupai sebuah protes karena mendapat pekerjaan yang tidak ingin dia lakukan. “Kenapa wanita itu ngotot sekali, sih? Bukankah seminggu yang lalu aku sudah bilang padanya, aku tidak tertarik bekerja sama dengan perusahaan yang dulu hampir bangkrut itu,” keluhnya.

“Kau tidak pernah menolaknya secara langsung. Temui dia dan katakan itu sendiri, dia tidak akan menyerah sebelum mendapatkan izin untuk menemuimu,” balas Ishida.

“Aku harus bertemu dengan siapa lagi selain Ise-san?” tanya Ichigo pasrah.

“Hmmm,” Ishida mulai mengingat kembali apa yang ia bicarakan dengan Ise Nanao kemarin. Tak lupa ia masuk ke dalam lift yang sudah datang. “Kalau tidak salah, kau akan bertemu dengan manager dari Zaraki Company, Hitsugaya Toushirou.”

Pintu elevator sudah tertutup dan Ichigo langsung menoleh ke arah Ishida sambil mengerutkan keningnya tidak percaya. Hitsugaya Toushirou? Manager Zaraki company? Toushirou? Kekasih Rukia?  

Tanpa sadar bibirnya menyeringai, ia senang karena Tuhan memberikan sebuah kejutan dalam hidupnya. Kejutan yang penuh warna setelah ia merasa hari-harinya terasa seperti hitam di atas kertas putih. Hampa. Membosankan.

“Ishida, segera telepon Ise-san, suruh ia menghadapku sekarang juga. Aku tidak mau menunggu sampai jam makan siang,” pinta Ichigo langsung merubah semua rencananya. Seringaian liciknya masih belum bisa hilang dari celah bibirnya.

Ishida menatapnya heran. Kenapa Ichigo yang terkenal keras kepala dan bebal jika sudah menyangkut keputusan yang ia ambil bisa langsung berubah pikiran secepat itu. Penasaran namun malas untuk menanyakan alasannya, Ishida langsung meraih ponsel putihnya dan menekan dial nomor Ise Nanao.

Setelah di angkat oleh wanita berkacamata itu, Ishida langsung to the point berkata. “Ise-san, Kurosaki-sama ingin Anda dan Hitsugaya Toushirou menemuinya sekarang.”

Ichigo bersiul-siul pelan, menunggu Ishida sedang bernegosiasi waktu dengan wanita di seberang. Setelah bicara beberapa menit, pria itu menutup ponselnya dan mendesah panjang.

“Ise-san akan datang secepatnya,” ucap Ishida menyerah.

Ichigo memunculkan senyuman kudanya. Membuat manager sekaligus sahabat terdekatnya ini bingung sebingung-bingungnya. Sikapnya yang langsung aneh ini memang selalu tidak terduga. Itulah Kurosaki Ichigo, entah apa yang sedang pria tampan itu pikirkan. Selama itu tidak membuat Ishida kerepotan nantinya, ia tidak akan protes.


xXxXx


Jika suasana hati seorang Kurosaki Ichigo sedang bahagia, lain ceritanya dengan Kuchiki Rukia. Sejak mendengar satu ucapan dari seorang pria mesum berambut jingga tadi, Rukia selalu uring-uringan. Bahkan ia tidak bisa berkonsentrasi saat di hadapkan oleh tumpukkan dokumen yang harus ia selesaikan secepatnya untuk di bawa Toushirou nanti saat pria itu bertemu dengan direktur dari Kurosaki company.

Sialan! Dengan cara apa pun, ia harus memulihkan kembali moodnya yang rusak, ia harus secepatnya menyelesaikan berkas-berkas menyusahkan ini.

‘Brengsek! Dasar brengsek! Memang siapa dia seenaknya berkomentar seperti itu kepadaku! Dasar pria tua mesum! Mesum! MESUM! M-E-S-U-M!!!’

Jari-jari Rukia saat menekan tombol kursor semakin terdengar jelas. Dia hanya bisa melampiaskan ke komputer yang tidak berdaya melawannya. Bahkan suara ketikannya terdengar jelas sampai membuat Kiyone menegurnya.

“Ng, kau tidak apa-apa, Rukia?” sapa Kiyone khawatir.

Barulah Rukia tersadar, tangannya berhenti sejenak, wajahnya menoleh, bengong. “Eh? Aku kenapa?” tanyanya tidak sadar.

“Sepertinya ada sesuatu yang mengganggumu, wajahmu terlihat pucat,” kata Kiyone.

Rukia langsung menoleh mencari-cari cermin, melirik sekilas apakah maskara yang ia pakai beleber makanya dia terlihat lebih suram. Pantulan kaca tidak memperlihatkan riasannya rusak, namun apa yang Kiyone katakan ada benarnya, kerutan di dahi Rukia terlihat semakin dalam dan tidak mau hilang. Berarti sejak tadi keningnya terus mengerut seperti itu. Seperti kerutan milik seorang pria berambut jeruk yang punya hobi melihat pakaian dalam wanita dan senang berakting sebagai gay.

“Ah, aku tidak apa-apa, kok. Mungkin terlalu lelah karena sering melihat ke layar komputer,” kata Rukia berusaha menutupi perasaan yang masih mengganjalnya. Dia tidak terbiasa bercerita tentang masalahnya kepada siapa pun, bahkan saat sekolah dulu. Wanita itu tidak mempunyai teman dekat, hanya beberapa kenalan, dan itu pun Rukia jarang berkomunikasi dengan mereka. Bahkan saat berada di kantor pun, ia terlihat berusaha tidak terlalu dekat dengan teman sebayanya. Mungkin karena tidak ingin terlalu terikat dengan sesuatu yang semu.

Ya, aslinya Rukia tidak percaya dengan istilah ‘persahabatan’. Baginya, hanya ada teman bukan sahabat.
“Ngomong-ngomong, apa kau tahu?” Kiyone mulai bercerita, hitung-hitung saat ini dia sedang tidak ada kerjaan dan sepertinya Rukia perlu dihibur karena pekerjaannya. “Kudengar dari si-sial Kotsubaki, Hitsugaya-taichou di perintahkan bos Zaraki untuk bertemu dengan direktur dari Kurosaki company, lho.”
Oh, mungkin itu sebabnya kenapa bos meminta Toushirou untuk cepat menghadap kepadanya. Rukia mengangguk mengerti sekarang. “Oh yah? Bagaimana hasilnya?” tanyanya mencoba tertarik dengan apa yang Kiyone ceritakan sambil tetap melanjutkan pekerjaannya.

“Katanya, kalau dari pihak Kurosaki setuju, maka manager Toushirou akan di pindah-tugaskan ke perusahaan Kurosaki yang ada di Amerika.”

Sontak Rukia terlonjak kaget, “APA?!” bahkan tanpa sadar ia menggebrak meja kerjanya.

Jika Toushirou pindah ke Amerika, bagaimana dengan nasib hubungan mereka?


Chapter 2 - end -